Meretas Pilar Kaderisasi PMII)
Andai aku jadi bupati. Mungkin terasa lucu kedengarannya. Tapi aku memang ingin jadi bupati, bupati di PMII ( He he…3X!, Ga` guyon aja…!). Setelah itu, baru jadi bupati di negri sendiri, bupati beneran. Sebagai kader PMII, penulis mengandaikan pemerintahan di PMII layaknya bupati, ada rakyat yang selalu menyampaikan aspirasi. Sebaliknya, seorang bupati harus mendengarkan aspirasi, melakukan turunisasi, turbaisasi untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan, keluh-kesah rakyatnya. Khusunya dalam hal kaderisasi. Kita sama-sama saling melengkapi, dengan niatan untuk memperbaiki bukan menjatuhkan rakyat atau bupati, ada i`tiqad baik yang terbangun didalamnya, kita bangun komitmen untuk memberbaiki PMII, memperbaiki kaderisasi.
Andai aku jadi bupati, itu yang menginspirasi penulis untuk memperbaiki PMII, aspirasi bukan dengan demonstrasi, bukan dengan kritikan yang menjatuhkan tapi dengan sopan santun, dengan kasih-sayang dan pengayoman. Saat rakyat menyampaikan aspirasi, itu menjadi masukan tersendiri untuk direalisasikan dalam bentuk konkrit, bukan hanya dengan agenda dan janji-janji. Sama halnya, jika bupati melakukan turbaisasi dan turunisasi, kekomisariat-komisariat atau kerayon-rayon, bupati tidak harus sisambut layaknya bupati yang ada, bupati kita, sambutlah bukan layaknya bupati, tidak harus dijamu dengan hal yang spesial, tidak juga dengan perempuan. Cukumlah rakyat mengerti, menyampaikan keluh-kesahnya, masalah-masalahnya, agenda-agendanya, keinginan-keinginnya, ada muatan dialogis antara senior denga kader, ada muatan dialogis didalamnya. Apa yang bias kita Bantu? Tentunya sang bupati akan berkata dan bertanya begitu. Dia lebih banyak mendengar, baru memberi saran dan masukan, bukan kritikan.
Andai saya jadi bupati, bukan layaknya bupati dan birorasi kita, yang minta di ayomi, yang minta di layani, bukan melayani, yang minta di hormati dan minta di rajakan. Saya hanya ingin ada aspirasi yang di sampaikan oleh keder-kader, ada hal yang juga harus dilakukan oleh pengurus-pengurus unguk membangun kaderisasi. Terbangunnya kominikasi di antara bupati dan rakyat tentunya akan sangat menopang kaderisasi, menopang kompleksitasnya potensi. Bupati yang saya idamkan adalah pemerintahan yang mendengar keluh kesah, yang mendengar aspirasi, yang membangun kaderisasi, yang peduli akan potensi-potensi, yang memberi ruang kepada keder-kadernya untuk berkiprah dimana-mana sesuai spesifikasi mereka, tidak boleh ada proses jegalisasi, baik secara persen atau kelompok, jangan ada pembunuhan karakter yang terstruktur, seperti halnya yang terjadi belakangan ini. Senior punyak tanggungjawab dan kewajiban ciptakan kader-kader yang cerdas, tanggap, punya spesefikasi yang jelas dan kaya potensi, sehingga pmii ada dimana-mana, tidak hanya dalam satu ruang, tidak hanya berebut satu bulan, seperti halanya yang ada saat ini, banyak bintang yang harus kita kuasai. Satu ruang yang jadi rebutan, akan menculkan keretakan, akan rawan konflik, curiga muncurigai. Muncullaah sahabat makan sahabat, banyak bintang yang harus kita rebut, banyak ruang yang harus kita masuki, hanya saja saat ini PMII miskin potensi, miskin pembacaan dan miskin analisa.
Andai saya jadi bupati, saya tidak ingin kepengurusan seperti halnya biraokrasi kita yang sulit di temua, tidak mau bertegur sapa, tidak mau mendenganr keluh-kesah. Kepengurusa kita, saya ingin yang benar-benar total membangun potensi, memperhatikan kaderisasi. Jika hal itu itu terjadi, meminjam bahasa saya ”PMII akan mampu mengpung sumenep, sudah saatnya PMII memimpin sumenep”.
Andai saya jadi bupati, sembenarnya tidak terlalu sulit membangun PMII, membangun kaderisasi, membangun komisariat-komisariat, rayon-rayon. Andaikan antara rakyat dan buptai mau mengerti, tidak saling menjatuhkan, tapi salaing memahami, asling mengerti, saya yakin kita akan bisa membangun kaderisasi, membesarkan PMII. Ada tiga pilar kaderisasi yang sebenarnya bisa menopang kebutuhan komisariat, kader-kader. Petama, kader butuh pengayoman intelektual. Intelektual menjadi kebuthan vital bagi kader-kader. Buku, diskusi, analisa dan menulis menjadi makanan khas PMII, yang harus di suguhkan. Cabang harus sadar bahwa kebutuhan itu menjadi hal yang fundamental, datangkanlah pengurus cabang atau orang-orang yang potensil untuk memberikan pencerahan. Mabincab dan alumni-alumni yang berpotensi sangat mendukung dalam hal ini. Kedua, kader butuh pengyoman, tidak hanya intelektual, kader butuh pengayoman perasaan (bukan dalam arti sempit). Kader butuh curhatisasi untuk berkeluh kesah atas masalah-masalah yang dihadapi. Keluh-kesahnya untuk di dengarkan, bukan di abaikan. Jika ini terbangun, maka akan muncul nyambungisasi, kader merasa di ayomi, kader akan simpati, bukan apatis. Tidak akan ada ceritanya kader yang menyampaikan aspirasinya dengan suara lantang, apalagi mendemo pengurus cabang di tengah jalan. Datangilah kader, curhatla dengan mereka, mulai persoalan kaderisasi, colon istri, hingga masalah keluarga dan masalah-masalah sehari-hari, kesulitan-kesulitan dikampus dan persolan-persoalan lain yang di alami kader. Tiga, ada hal yang selama ini menjadi problem bersma, tidak komisarita, tidak rayon juga cabang. Kader juga butuh pengayoman material. Mereka paling tidak di kasi gambran atau jalan pas ada kegitan, untuk bayar lampu, untuk bayar koran. Kita sambungkan mereka dengan alumni-alumni, tapi yang terpenting membangun kemandirian di antara kader dengan potensi masing-masing ada pilihan terpenting, ajari mereka dengan berwira usha, ajari mereka untuk nyumbang ke PMII, bukan hidup dari PMII.
Andai aku jadi bupati. Terkait dengan kaderisasi di PMII, saya mengidealkan satu bentuk kaderisasi yang betul-betul mengayomi. Kader-kader PMII butuh pengayoman intelektual. Ini bisa dibangun dengan melakukan kajian-kajian yang intens di internal komisariat-komisariat, dibentuknya kelompok-kelompo kecil akan sangat mendukung terhadap munculnya potensi, munculnya spesefikasi. Ada dua hal sangat menopang terhadap pembangunan kaderisasi di PMII. Pertama, kader-kader semester satu-tiga harus di godok, dicekoki dengan buku-buku, kajian-kajian, entah perjuarusan atupun kajian-kajian secara umum, intens menulis, hingga tulisan yang serius sapai karya sastra-puisi. Berbicara beberapa hal di atas, tidak boleh tidak, idealnya rayon, komisariat dan bahkan cabang, harus menyediakan fasililtas-fasilitas yang dibutuhkan. Sepertihalnya, perpustakaan dan buku-buku yang menopang terhadap kemapanan intelektual kader. Selayaknyalah cabang mempunyai perpustaaan. Ini bisa dilakukan jika cabang, komisariat, rayon menggunajakan jaringan seniornya yang ada banyak yang ada dipenerbit. Dengan terus melakukan penggodokan dan pengayoman maka akan tercipta kader yang idealis, bukan pragmatis, yang betul-betul berkapasitas. Dua, setelah semeter tiga-keatas, baru kita melakuan analisa, melakukan pemetaan terhadap potensi yang dimiliki kader. Selama perjalanan rentang waktu satu setengah tahun atau semester satu-tiga, saya rasa sudah cukup untuk mengetahui kecendrungan potensi kader. Mereka yang berpotensi menulis, kita sediakan wadah khusus dengan sk khusus untuk mengembangkan potensinya. Kader-kader yang berpotensi dalam sastra, selayaknyalah ada wadah juga untuk mengembangan potensinya. Dengan senior dimana-mana, saya kira PMII tidak akan selutian untuk menyalurkan potensi-potensi kader, tinggal kecekatan dan pekaan pengurnya terhadap kondisi PMII, kondisi kader-kader.
Potensi-potensi lain yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah, banyak kecendrungan kader, asda yang konsen di filsafat, ada yang juga berpotensi di bahasa inggris, ada juga yang mengembankan bahasa arab. Kalau mau menyesuakan dengan jurusan, kader-kader juga disediankan wadah dan kajian-kajian dalam bidang pendidikan, ekonomi, hukum dan jurusan-jurusan yang lain. Kader-kader diajari juga untuk turun kelapangan, dalam bidang hukum, bisalah kader-kader terjun langsung kelapangan dengan melakukan pendampingan-pendampinga, advokasi misalnya. Mereka yang konsen di ekonomi, bisala kader-kader mengembangakan potensinya dengan berwira-usaha. Hanya butuh respon dan kepedulian pengurus cabang, komisariat menyediakan wadah dan menyambungkan dengan senior, menyambungkan dengan alum-alumninya yang ada dimana-dimana, dan menyambungkan dengan instansi-instansi terkait. Itu saja mungkin, andai-andai saya jadi bupati, semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi kader-kader saya di komisariat, dirayon. Denganmula aku berbagi, dengan mulah aku berjuang, dan denganmula kita besarkan PMII.
Penulis adalah mantan ketua komisariat PMII Guluk-Guluk dan saat ini menjadi fungsionaris PC PMII Sumenep.
Tetap semangat PMII Sumenep
BalasHapus