24 Desember 2008

Merangsang Potensi Wira Usaha dan Tehnologi Kader

Oleh : Adi Purnomo*

Out-put yang dilahirkan warga pergerakan sampai hari ini masih dalam tataran itu-itu saja. Kalau tidak politsi ya pasti LSM, mujur-mujur samapai ke akademisi. Mengapa demikian, hal itu tentunya tidak lepas dari beberapa hal. Salah satu yang mendasar menurut hemat penulis adalah masalah kaderisasi. Kaderisasi yang ada dalam warga pergerakan masih mengesankan ketidak adilan, ketidak seriusan. Lebih jelasnya, ketidak adilan itu sangat nampak akau kita baca dalam hal materi-materi kaderisasi, ada ketidak seimbangan antar meteri yang bernuansa politis dengan yang bernuansa pengembangan ekonomi, tehnolog dan pengembangan potensi-potensi kader yang lain. Ini mengesankan bahwa NDP, nilai dasar pergerakan belum menjadi ruh perjuangan warga pergerkan, NDP pelum menjadi pisau analisa yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kaderisasi.

Ketidak merataan penyusunan materi yang yang sesuai dengan porsi tentunya menjadi salah satu faktor mendasar out-pun yang dihasilkan. Tidak hanya itu saja, kita melihat dalam hal meteri, ada ketidak seriusan dalam penyusunannya. Materi-materi yang ada tidak menyediaka kebutuhan pengembangan potensi-potensi kader, tidak mengakomodir kebutuhan-kebutuan kader. Baik itu yang di susun dan dirumuskan oleh PB, PKC, Cabang ataupun komisariat. Sehingga kader-kader dikomisarit dan rayon yang bersagkuta sering jadi korban materi-materi yang telah disajian, disedian oleh PB, PKC ataupun cabang.

Naifnya, kader-kader komisariat telah menganggap final semua materi-materi yang telah ditetapkan oleh PB yang dibentuk dalam sebuah buku panduan, disampul rapi. Padahal kalau kita bleceti, hal itu sangat tidak mencerdaskan kepada kader. Kader diajak kepada sesuatu yang politis ansih, pragmatis. Belum lagi itu ditopang dengan struktur yang tidak serius mengurusi kaderisasi, entah karena dia tidak ideiologis ke PMII ataupun karena struktur pengurusnya tidak berkulaitas, tidak cerdas menyikapi kaderisasi dan materi-materi yang telah ditetapkan oleh PB. Kita berkeyakinan bahwa meteri yang telah disajikan PB telah paten, mutlak harus diikuti, padahal itu disusun tanpa keseriusan. Hal itu semakin kompleks dan jelas, outpun yang dihasilkan akan melahirkan kader-kader pesakitan, kader yang sindrom kekuasaan, sindrom politik, sangat jarang kita jumpai kader-kader yang sindrom akan pengembangan ekonomi, berbisnis, kader-kader tehnolog. Kader-kader yang ada kecendrungannya, kalau tidak politisi, LSM, mujur-mujur mereka yang masi kecendrunganny ke akademisi.

Untuk itu, sudah seharusnya dimulai untuk melahirkan kader-kader ekonom, kader-kader tehnolog dan kader-kader yang sesuai dengan potensi dan kecendrungan mereka, caranya…?

Inilah sebernarnya yang menjadi ketertarikan penulis untuk menawarkan konsep dan pembahasan sederhan untuk mencoba menyikapi kembalai kaderisasi yang ditawarkan oleh PB, PKC dan Cabang. Penulis sebagai warga pergerakan mencoba menawarkan perlawanan, mencoba menghadirkan konsep tandingan dari PB, PKC, Cabang. Meskipun penulis sadar akan kapasitas penulis yang hanya pas-pasan dalam hal intelektual, tapi penulis tetap tidak pesimis, konsep yang penulis tawarkan akan mempu mencerdaskan kader, akan mampu menjadi tawaran baru bagi kader. Karena penulis yakin, hal itu berdasarkan pengembaraan yang panjang akan realitas warga pergerakan hari ini, akan ralitas kaderisasi hari ini. Hal itu juga berangaka dari keprihatinan, kasih sayang kepada semua kader-kader warga pergerakan. Untk itu, ini khusus diperuntuk dan dipersembahkan kepada kader-kader tercinta yang masi polos, masi semester satu-tiga, kader-kader yang ada dirayon dan komisariat.

Berangkat dari kegelisahan itu, saya mencoba mengadakan perenungan dan pengembaraan yang lumayan panjang untuk melahirkan satu tawaran yang mungkin hanya pas-pasan. Tawaran-tawaran itu mungkin hanya sebuah konsep mentah yang harus dikembangakan dan digodok kembali, tapi paling tidak ini akan menjadi gelindingan issue yang akan kita konsumsi bersama oleh sahabat-sahabat cabang, komisariat dan kader-kader pada khususnya.

Saya melihat satu kelemahan yang sangat mendasar seperti yang saya sampaikan di atas adalah terletak di materi-materi kaderisasi yang sangat tidak memenuhi porsi. Baik porsi itu terkait dengan potensi-potensi yang dimiliki kader dimasing-masing komisariat, materi yang ada juga tidak memberikan porsi yang lebih untuk kadear dalam rangka mengembangkan diruang-ruang ekomomi, tehnologi. Beberapa hal ini yang saya lihat sangat mendasar dalam persoalan kaderisasi. Ketika kaderisasi kita tetap berkutat dalam tataran itu-itu saja, sudah bisa dipastikan out-put yang dilahirkan tidak akan bisa menjawab tangtangan zaman. Idealnya kader-kader PMII tidak hanya berkutat dalam tataaran politik, LSM ataupun akademisi. Mulai hari ini, sudah seharusnya warga pergerkan menguasai dunia perekonomian yang beranjak semakain kapitalis, dunia tehnologi yang semakain hari semakin tidak bermoral. Kader-kader PMII sudah seharusnya menjadi pahlawan tapi bukan pahlawan kesiangan, yang sewaktu-waktu hadir ketika ada kepentingan.

Untuk itu, ada beberapa tawaran yang bisa kita lakukan. Pertama, analisa yang mendalam terhadap potensi-potensi yang dimiliki oleh kadar adalah mutlak harus dilakukan. Mengapa demikian, itu dilatarbelakangi dengan kompleksa potensi kader, tapi sejauh ini belum terakomodir, sehingga banyak potensi mereka stagnan, yang pada akhirnya terjadi kejenuhan kejenuhan tersendiri untuk tidak aktif dipergerakan. Potensi-potensi yang ada menurut hemat penulis meliputi, potensi sastra dan budaya yang ada pada kader, potensi kreatifitas menulis kader, potensi kewartawanan kader. Belum lagi kalau berbicara potensi berwirausaha, tehnoligi yang dimiliki oleh kader.

Sejauh ini PMII hanya melihat kader-kader yang potensial adalah mereka yang hanya bisa berwacana, bisa beretorika. Sedangkan potensi berwirausaha, potensi tehnologi, potensi budaya yang ada pada kader tidak pernah diperhitungkan. Ini bisa dilihat, mereka yang bisa beretorika akan pasti dilihat, mereka yang bisa beretorika akan pasti jadi ketua komisariat, jadi ketua angkatan, jadi ketua cabang dan bahkan siapa yang bisa beretorika dan mempuanyai funding akan jadi ketua PKC, PB.

Kedepan sudah seharusnya, pemimpin-pemimpin di PMII, baik ditingkat komisariat, cabang bahkan PKC dan PB adalah mereka yang mempunyai visi dan misi serta kepekaan akan pengembangan ekonomi dan tehnologi. Ini dimaksudkan agar kader-kader warga pergeraka tidak hanya asyik didunia politik ansih

Dua, idealanya sebelum penyesunan program-program komisarit, cabang bahkan PKC dan PB. Terlebih dahulu melakukan pembacaan potensi-potensi, kemampuan dan skill yang dimiliki oleh kader. Bagaimana kemudian program dan kegiatan yang ada lebih memberikan porsi yang lebih akan potensi, skill dan kemampuan yang dimiliki oleh kader. Bagi kader-kader diperguruan tinggi yang berbasi agama, skill yang banyak adalah munulis, sastra, Kitab, bahasa inggri dll, ini harus dikembangkan Yang tidak kalah penting adalah bagaimana juga memberikan porsi program kegiatan yang seimbang dengan kegitan-kegiatan yang bersifat kewirausahaan, bisnis dan tehnolog. Sehigga kader-kader yang berbasing agama juga tidak kuper akan dunia ekonomi dan tehnologi. Yang pada akhirnya mereka juga akan menjadi pelaku ekonomi, pelaku tehnologi bukan jadi objek kapitalis, objek tehnolgi. Disinilah sebenarnya perang penting Komisariat, Cabang, PKC dan PB.

Tiga, penulis tetap bersepat menjadikan materi-materi yang telah ditetapkan oleh PB, PKC sebagai materi panduan, sebagai gambaran tapi itu bukan sebagai ketetapan kod`i yang mutlak harus di ikuti. Disinilah dituntut cerdas-cerdasnya komisariat dan cabang sebagai warga yang langsung bersentuhan dengan kader. Dan disinalah konsolidasi jaringan bukan hanya dibangun dengan para politisi. Konsolidasi jaringan harus dimaknai lain, dimaknai lebih luas. Konsolidasi jaringan juga harus dibangun dengan para pengusah, dinas perekonomian, Badan latihan kerja, dinas infokom. Bagaiman jaringan itu pada endingnya mampu menelorkan ilmu-ilmu tentang berbisnis, berwira usaha, bertehnologi pada kader.

Empat, disilah posisi penting seorang ketua, baik ketua komisariat, ketua angkatan, ketua cabang untuk mempunyai visi yang jelas tentang pembanguna ekonomi, tehnologi dan pembacaan yang tuntas akan potensi, skill yang dimiliki oleh kader. Kalau saya boleh membahasakan, tidak penting seorang ketua komisariat, ketua angkatan tahu akan pembacaan ralitas politik. Biarlah cabang, PKC dan PB yang bergelut dengan itu.

Selanjutnya, saya hanya berharap, semoga ini bisa menjadi terobosan-terobosan baru bagi kade-kader yang masih ada dirayon, dikomisariat. ya kalau diterima, juga kader-kader yang ada di Cabang, PKC dan PB.

*Penulis adalah mantan ketua Komisariat PMII Guluk-Guluk dan
Fungsionaris PC PMII Sumenep 2008-2009

Kaderisasi PMII Matisuri

Oleh Asep Saefullah, S.PdI

Keberlangsungan sebuah organisasi non pemerintahan (Non Government Organization/NGO) semisal PMII hampir sepenuhnya bergantung pada kematangan kaderisasi baik dalam wilayah konsep lebih-lebih pada pengaplikasiannya di lapangan. Kaderisasi, dalam pemahaman penulis, adalah proses yang wajib dilalui oleh setiap kader baik penguatan basik intelektual dan penguatan profesionalitas spesifikasi bidang yang dengannya diharapkan terbentukanya kedewasaan dan kematangan berfikir, dan kesiapan mengambil peran di tengah-tengah masyarakat multidimensi.

Tanpa bermaksud menafikan urgentisitas persoalan lain di PMII, proses kaderisasi, tidak boleh tidak harus terus dioptimalkan. Lantaran kontinyuitas proses kaderisasi menentukan output PMII yang akan dihasilkan. Kemandekan kaderisasi adalah tanda nyata dari awal ambruknya sebuah organisasi.

Berangkat dari kesadaran itu, PMII sudah semestinya konsen untuk mengembangkan konsep kaderisasi yang terus menerus berorientasi pada kesesuaian kapabilitas kader dengan realitas konteks kekinian. Gagasan bahwa PMII harus sudah memulai mendistribusikan kadernya pada berbagai ranah meniscayakan konsep kaderisasi yang matang dan kompleks. Ide itu terasa sangat sesuai mengingat wilayah-wilayah publik atau pemerintahan butuh untuk segera direbut oleh kader-kader PMII.

Setidaknya beberapa tahun terakhir dan sampai saat ini, ide itu menjadi elan vital konsep kaderisasi PMII. Penulis beranggapan, pemerataan distribusi kader dalam berbagai wilayah terasa tetap relevan dan mesti terus lebih digalakkan.

Persolah yang muncul kemudian, dalam wilayah pengaplikasian, ide brillian itu seringkali berbenturan dengan banyak hal. Yang paling kentara diantaranya adalah atmosfer politis di tubuh internal PMII. Momen-momen politis semisal kongres, konkorcab, konfercab, dan RTK seringkali lebih mendominasi warna dari organisasi PMII. Satu sisi hal itu kemestian dan wajar adanya, tetapi di sisi lain atmosfer yang demikian tak jarang “menjebak” banyak kader-kader potensial PMII untuk melulu berkecimpung dalam bidang politik(internal PMII) sembari lalai untuk konsen mengembangkan potensi masing-masing pribadi yang telah ada. Pengembangan skill dan kapabilitas kader menyangkut bidang-bidang di wilayah lain sedikit demi sedikit tergeser. Pola pikir yang merebak di kalangan kader PMII sendiri masih bisa dikatakan “manual” dan logosentris. Keberhasilan dalam organisasi masih sering diukur dari jabatan formal yang disandang kader di tubuh kepengurusan. Sementara capaian-capaian yang lain disisihkan dan tidak dilirik. Padahal kontribusi dan peran kader dalam bidang apapun adalah kreativitas yang justru melebarkan wilayah garap PMII sendiri.

Imbasnya yang paling kentara, disadari atau tidak, konsep kaderisasi yang telah dianggap matang itu terbengkalai. Penguatan intelektual kader di PMII acapkali hanya pengakumulasian kekuatan untuk berkiprah di kancah politik. Hampir bisa dikatakan, kaderisasi yang dilakukan sampai saat ini miskin dari gairah mengeksplorasi masing-masing bidang yang diminati untuk kemudian menjadi kader yang mumpuni di ranah-ranah lain selain ranah politis. Seolah-olah, atmosfer politis telah menggiring mayoritas kader PMII untuk ramai-ramai berkiprah di dunia politik. Sementara wilayah-wilayah lain di luar wilayah politik seringkali luput dari perhatian. Ruang-ruang kosong pada wilayah ekonomi, sains, teknologi, budaya, dan lainnya yang mestinya segera diduduki oleh kader-kader PMII tetap saja terabaikan.

Di samping itu, momen-momen politis di tingkatan atas seringkali molor dan tidak tepat waktu. Meski terlihat remeh, kenyataan itu sangat terasa implikasinya di tingkatan terbawah, yaitu rayon dan komisariat. Kita terbiasa menyaksikan kemoloran waktu pergantian kepengurusan diberbagai level kepengurusan sebagai sesuatu yang wajar dan alami. Padahal, “kewajaran” itu, acapkali harus dibayar dengan terlunta-luntanya konsistensi proses kaderisasi di tingkatan rayon dan komisariat.

Lokalitas Materi Kaderisasi

Berbicara kaderisasi sepertinya sembilan puluh persen berbicara rayon dan komisariat. Di samping kedekatan rayon dan komisariat dengan kader, situasi di wilayah keduanya juga lebih terkondisikan untuk lebih khidmat untuk memulai berproses membangun kapabilitas kader di berbagai ranah. Karena itu, tanggung jawab komisariat dan rayon secara otomatis lebih besar atas berhasil dan tidaknya proses kaderisasi.

Yang tak kalah pentingnya dalam hal kaderisasi adalah kurikulum kaderisasi. PMII sebagai organisasi besar kemahasiswaan tentu memiliki kurikulum yang jelas tentang bagaimana proses kaderisasi dijalankan, dan level-level kaderisasi yang mesti dilewati dan didalami.

Persoalannya, kurikulum kaderisasi PB PMII sebagai pedoman bagi setiap pelaksanaan proses kaderisasi pada level kepengurusan di bawahnya seringkali tidak relevan dengan kondisi dan situasi lokal masing-masing kampus. Meski di sisi lain, secara ideal, penulis beranggapan bahwa konsep yang telah ditaburkan ke level komisariat dan rayon telah singkron dengan kebutuhan menjawab tantangan jaman. Ke tidak conect-an tadi tak jarang memunculkan kesulitan dan lebih-lebih mampu mengkerangkeng kreativitas rayon dan komisariat dan seutuhnya mengiblat pada kurikulum yang telah disediakan PB PMII.

Oleh karena itu butuh ruang-ruang dimana masing-masing rayon dan komisariat bisa secara bebas menerjemahkan bahkan menciptakan kurikulum kaderisasi yang landing dengan realitas kampus dan masyarakat sekitar. Kurikulum kaderisasi dari PB PMII harus dipahami sebagai gambaran global dalam rangka memunculkan kreativitas masing-masing rayon dan komisariat guna menghadirkan kurikulum dan materi anyar yang lebih elegan, “ramah”, dan lebih mudah diterima oleh mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan. Dalam bahasa lain, perlu ada usaha lokalisasi(pe-lokal-an) kurikulum atau materi yang telah disusun.

Persoalan di atas butuh disikapi oleh seluruh kader dan terutama jajaran kepengurusan di semua level. Pesoalan yang pertama butuh kesadaran untuk bagaimana membangun organisasi tanpa mengabaikan konsistensi dan komitmen dari usaha pengkaderan. Sementara yang kedua, PB PMII harus mulai mempertimbangkan pembentukan kurikulum dengan metode yang bottom up guna meminimalisir ketidaksingkronan kurikulum dengan lokalitas kampus dan masyarakat dimana PMII itu tumbuh. Di samping secara terus menerus, komisariat dan rayon, mengupayakan kreativitas dalam menerjemahkan kurikulum kaderisasi yang telah terbentuk.

Mahasiswa, Kreatif yang Intelektual

Oleh : Rusman Hadi*)

Ada hal yang selalu mengusik ketenangan penulis akhir-akhir ini, yakni asumsi yang mulai banyak berkembang dikalangan sahabat-sahabat Pergerakan terkait perbedaan yang terkadang berujung pada konflik yang sangat pelik dan tanpa jalan keluar. Dalam fenomena seperti itu ada sebagaian sahabat yang beranggapan bahwa konflik itu mendewasakan, dengan konflik seseorang akan menjadi lebih dewasa, dan asumsi-asumsi lain yang intinya juga sama dengan pemahaman tadi.

Apa yang bermasalah dengan asumsi tersebut ?. Itulah pertanyaan yang sering muncul ketika penulis ingat pada persoalan-persoalan di atas. Tulisan ini merupakan sebuah refleksi dari kegelisahan penulis terhadap asumsi yang dalam pemahaman penulis asumsi tersebut sudah menjadi “penyakit” masyarakat pergerakan. Dalam ulasan singkat dan sederhana ini penulis mencoba meluapkan kegeliasan yang selama ini dialami.

Sepintas, asumsi yang berkemabang tentang konflik itu mendewasakan bukan sesuatu yang salah. Namun juga bukan berarti semuanya itu benar. Artinya adakalanya konflik itu bisa mendewasakan dan kedatangannya menjadi sesuatu yang seakan “wajib” sebagai media pembelajaran. Disisi lain, konflik memang harus dihilangkan, ketika sudah akan memecah sebuah persatuan, termasuk organisasi, bahkan terkadang sampai berujung pada konflik fisik, tentu itu adalah sesuatu yang harus dihindari.

Dalam lingkungan warga pergerakan konflik ini juga menjadi pemandangan yang terus menghiasi warganya. Tentu, lagi-lagi itu juga dengan dasar konflik itu mendewasakan. Entah ada atau tidak yang dewasa dengan konflik itu tidak menjadi soal. Yang terpenting (mereka) hanya inginnya berkonflik (bertengkar) dengan sahabatnya sendiri, dalihnya untuk mendewasakan. Sehingga terkadang sulit untuk dibedakan apakah konfliknya untuk pembelajaran atau hanya kepentingan kelompok, kepentingan orang tertentu yang berkedok konflik untuk mendewasakan dan berdalih demi penyelamatan organisasi.

Melihat dan mendengar hal tersebut penulis hanya berpikir itu penyelamatan organisasi, atau penghancuran organisasi. Jawabannya, dipersilahkan kepada semuanya untuk memikirkan hal tersebut. Silahkan dinilai apakah orang yang memecah persatuan dengan berdalih konflik mendwasakan itu penyelamat atau penghianat. Tentu semuanya sudah bisa menilai.

Kemudian, tidak akan ada kesimpulan yang ingin diambil dari catatan ini, hanya saja penulis memberikan catatan selama ini terjadi dalam lingkungan pergerakan yang notabene insan akademik (mahasiswa) dari aktifitas atau kesibukannya dalam berkonflik ada banyak hal yang terlupakan. Salah satunya mahasiswa sebagai insane akademik, insane intelektual menjadi sesuatu yang kurang diperhatikan. Dalam kata lain seakan, konflik okey, tapi intelektual no.

Aktifitas-aktifitas kajian, diskusi keilmuan atau bahkan budaya baca menjadi sesuatu yang jarang terpikirkan. Sehingga kreatifitas yang bernuansa intelektual jarang lagi kita temukan.

Sebenarnya, berkonflik itu memang wajar, beda pendapat itu tidak masalah namun bukan harus berujung pada pertengkaran, apalagi perpecahan. Makanya semuanya, apalagi mahasiswa yang sering mendengung-dengungkan Demokrasi harus siap juga untuk berdemokrasi. Bukan hanya orang lain yang disuruh demokratis namu dirinya tidak pernah mengamalkannya. Dan tidak boleh ada pemaksaan dalam demokrasi yang akhirnya harus berujung pada perpecahan.

Demokrasi harus siap menang dan siap kalah, bukan hanya berkeinginan untuk mengalahkan kemudian berujung pada pemaksaan. Dan jangan biasakan memulai sesuatu dengan paksaan, karena itu akan melahirkan kebudayaan tidak baik dalam kehidupan demokrasi. Dan itu bagian dari pencederaan terhadap demokrasi.

Penutup, sudah sewajarnya mahasiswa tidak lupa pada jati dirinya sebagai insan akademik. Semua harus menyikapi perbedaan dengan sewajarnya bukan dengan pemaksaan yang kadang juga berdalih aturan yang hanya dicari-cari. Perspektif intelektual sebagai mahasiswa jangan sampai terlupakan. Dan jangan sampai pernah lupa juga bahwa manusia pasti memiliki celah. Itu wajar, manusiawi. Sehingga yang harus dilakukan adalah saling menutupi celah tersebut, saling mengisi kekurangan demi keutuhan suatu organisasi, demi kebesaran organisasi, demi kepentingan bersama. Dan dengan demikian kesibukan kita tidak hanya pada konflik. Tapi berkreatifitas dengan cara-cara yang masih memperhatikan aspek akademik. Selamat Membaca !

.(*Penulis adalah mantan Ketua Komisariat PMII STKIP PGRI Sumenep Masa Khidmat 2007-2008 & Sekarang masih tercatat sebagai Mahasiswa Semister VII STKIP PGRI Sumenep Jurusan Pend. Bahasa & Sastra Indonesia.

Misi Pesantren Yang Mulai Terabaikan

M. Muhri Zain
[Ketua Umum PC PMII Sumenep 2008-2009]

Lahirnya format baru sistem pengembangan pesantren modern (formal) yang kurang terarah seperti di atas, secara tidak langsung, akan membawa dampak yang kurang baik bagi kelestarian tradisi pesantren. Dan diantara hal penting yang paling merugikan tradisi pesantren nantinya adalah: Pertama, akan semakin lemahnya potensi kemandisian pesantren, baik secara institusional maupun kelembagaan. Kedua, semakin lemahnya kekuatan sosial pesantren sebagai alat penyaring budaya (agent of cultural control) khususnya bagi kalangan masyarakat pesantren (kaum santri). Ketiga, dan saya kira inilah yang paling utama dan paling pertama, yaitu akan semakin terabaikannya misi dakwah Islamiyah yang sebetulnya merupakan misi utama dan tujuan pokok lahirnya trdadisi pesantren di bumi nusantara ini.

Sebab, bukan tidak mungkin, suatu saat nanti ummat Islam Indonesia akan mengalami benturan keras untuk yang kesekian kalinya dengan realitas yang jauh lebih hebat dan lebih kejam dari sistem penjajahan kolonialis sebelumnya, yakni ancaman dari lahirnya “the post-kolonialism” atau bahasa lain dari ancaman pasar global (the free market of global world) yang mulai mengintai negeri kita yang kaya hutang ini. Sehingga, dalam banyak hal, komunitas pesantren yang ada sekarang—semestinya—harus memperkuat eksistensinya dengan memperkukuh bangunan tradisi pendidikan Islam yang diembannya, sehingga dengan begitu—melalui langkah-langkah baru yang lebih cermat dan mengedepankan kepentingan-kepentingan masyarakat umum, dengan tujuan semata-mata untuk mengemban amanat Allah—maka, “tradisi pesantren” akan tetap dan terus mampu menjadi payung bagi ummat Islam Indonesia, dan untuk yang kesekian kalinya akan mampu membela dan memperjuangkan kemandirian ummat Islam khususnya kaum santri sebagai komponen utamanya.

Maksudnya adalah, bagaimana kemudian tradisi pesantren ini bisa terus eksist dan tetap kualified dalam menghadapi terjangan arus global, dengan tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai tradisi pendidikan Islam ala-Indonesia. Bagaimana kemudian tradisi ini tetap berpegang teguh pada pendiriannya sebagai agent bagi Islam untuk Indonesia, yang mengemban misi dakwah dan pendidikan, dan mampu memikul amanat Islam sebagai teologi pembebasan dan agama cinta (Dienurrohmah).

Maka dari itu, representasi pesantren akan sangat penting posisinya dalam area perubahan sosial terutama jika pesantren bisa secara kontinyu menjadi pendukung statuta politik tertentu baik dalam wilayah individu, partai politik, dan negara.

Fokus pembahasan dalam halaqoh ini berangkat dari penilaian terjadinya mobilisasi pesantren atau kyai yang erat hubungannya dengan persoalan di sekitar perubahan sosial. Dalam konteks seperti ini dapat dijadikan satu perspektif bagaimana pesantren menjadi salah satu daya tarik bagi stakeholder untuk mencari justifikasi sosial atau sebagai ladang bagi penyucian keagamaan (al-taqdis al-diniyyah) dalam rangka mencapai popularitas personal dan kelompok.

Sayangnya, jika orientasi sosial kyai hanya terfokus pada status legitimasi kasus per kasus dalam pranata social, maka reproduksi sosial akan segera mandek. Kekuasaan sebagai target transformasi seringkali diupayakan dengan men-subhat-kan agama menjadi make-up kepentingan sosial. Orientasi ini bisa sedikit dimengerti dengan pertimbangan bahwa perubahan sosial tidak mungkin bisa dicapai secara absolut manakala strategi perubahan tidak bisa merambah kekuatan basis yang akan dijadikan alat pendukung (kekuatan massa). Dan kekuatan basis tersebut sangat mungkin dapat didekati dengan memanfaatkan patron-patron kunci yang mengendalikan kekuatan massa riil.

Di sisi lain, kehadiran pesantren dalam ikut menumbuhkan suatu tatanan kebangsaan yang demokratis juga banyak melahirkan sejumlah gagasan orisinil mengenai demokratisasi yang digali dengan baik dari tradisi lokal. Hal ini berarti bahwa pola pemikiran pesantren bisa menjadi dasar bagi tumbuhnya gerakan kewarganegaraan; atau pesantren merupakan salah satu kekuatan demokrasi yang lahir dari gagasan orisinil keagamaannya yang bisa menjadi pondasi bagi penegakan etika sosial ke depan. Tentunya, hal ini membutuhkan berbagai prasyarat-prasyarat dengan terlebih dahulu meniupkan iklim demokratisasi ke dalam tubuh pondok pesantren yang tidak meninggalkan etika dan normativitas pesantren yang selama ini menjadi ciri khasnya. Demikian sebagaimana yang dipesankan oleh K.H Hasyim Asy’ari: muhafadhatu al-muqaddim ash-shalih wa akhda bi al-jadid al-ashlah (menjaga nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik).

Oleh karena itu, jika pesantren hendak dijadikan sebagai komunitas dasar bagi tumbuhnya demokrasi maka seharusnya pesantren juga mempunyai akar kuat agar bisa menciptakan demokratisasi melalui suatu gerakan baru; atau pesantren seharusnya menjadi salah satu bagian dalam pendidikan politik warga negara untuk berpartisipasi dalam tujuan membentuk negara yang beriklim demokratis. Artinya, fungsi pesantren, dalam pengertian luas, seharusnya bisa menjadi katalisator bagi berlangsungnya proses-proses transformasi sosial. Misalnya, melalui budaya pendidikan mandiri yang mana dapat diperoleh kesadaran kultural bagi terciptanya kehidupan demokrasi yang diartikulasikan dalam pengertian yang sebenarnya, yakni mencerminkan tingkat otonomi dan partisipasi masyarakat dalam membentuk sebuah negara yang berdaulat atas nama rakyat. Jadi pada tahap ini, negara hanyalah merupakan representasi kedaulatan rakyat yang dibangun melalui institusi rakyat –seperti pesantren– yang keberadaannya tidak semata-mata diukur dari kekuatan struktur yang status quo, melainkan menjadi sebuah negara yang demokratis ketika seluruh fungsi kelembagaan masyarakat mampu beroperasi secara independen guna menopang berjalannya negara yang respektif dan bertanggung jawab terhadap seluruh kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

Mengingat pesantren adalah lembaga yang lahir dari sebuah bentuk penyelenggaraan pendidikan dari masyarakat murni dan bukan berasal dari kebutuhan negara, maka representasi pesantren sebagai basis kekuatan civil society memiliki nilai fungsional untuk memperkuat sistem edukasinya sehingga demokratisasi itu betul-betul lahir dari sebuah masyarakat beradab dan bukan masyarakat kanibal. Penguatan sistem edukasi sebagai basis penguatan civil society ini tentunya berkorelasi langsung dengan persoalan pendidikan di Indonesia sekarang ini yang masih sangat memprihatinkan.

Melalui sekian persepsi dan analisis tentang pesantren dan representasi tradisi keagamaan yang dihubungkan dengan bentuk relasi yang agama, maka penyusunan buku ini tentu tidak bisa dilepaskan dari bagaimana peran pesantren di satu sisi dan keberadaan negara di sisi lain bisa membawa sejarah politik demokrasi di Indonesia menjadi lebih dinamis. Hal tersebut tidak lepas pula dari keinginan agar gairah substansial dari relasi antara pesantren dan masyarakat itu bisa dimengerti sebagai suatu kesatuan yang produktif.

Netral Online-PMII Sumenep: Lemah

Netral Online-PMII Sumenep: Lemah

Netral Online-PMII Sumenep, Menerima tulisan-tulisan kader-kader PMII atau umum, baik opini, artikel, puisi dan kolom.Banyak tulisan 4500 karakter. Tulisan yang dimuat akan mendapatkan bingkisan menarik dari PC PMII Sumenep.

23 Desember 2008

Lemah

M. Muhri Zain

[Ketua Umum PC PMII Sumenep 2008-2009]

Kau tahu

Aku lusuh?

Lalu akupun mengeluh

Kau tahu aku lapar?

Menggelepar di atas tikar

Pagi ini,

Saat ayat-ayat itu aku dengar

Perut laparku mengeluh di atas tikar lusuh

Kini kau tahu

Aku sedang lapar

Lapar akan kedamaian

Untuk semua.

Antologi Puisi 6

DA - RA

(DemokrAsi – ReformAsi)

Oleh : 2nd H *

Aksi……

Orasi………

Demontrasi….

Terus di adakan

Terus di lakukan

Terus dilaksanakan

Terus terjadi

Menginginkan………………

Perubahan sistem

Perubahan orang-orang

Orang yang belum korupsi

Untuk korupsi

Orang yang belum masuk gedung KPK

Untuk disidik KPK

Orang yang belum masuk penjara

Untuk terdaftar sebagai anggota narapidana

Anak Pertiwi inilah yang telah

Membohongimu, Menghianatimu, Mendustaimu dan Membunuhmu

DARA.

Maafkan DARA ibu pertiwi

Atas rusaknya Negeri ini.

Sumenep, 00.30 wib, 20 Nov 2008

* Hasdani Roi


SAJAK SU. SU.AIDI SAYFI’IE*

TAMAN

“Barangkali dia bukan pacar setia kawan,. Setelah lepas tanagan sebelum senja kali ini”

aku bukan lelaki angkuh, tidak seperti matahari di atas gentingmu ketika terik

atau bara api yang berkobar sedemikian mencekik, kemudian menyentuh

mengjaka perang pada daun atau dahan pohon kering, yang sebelumnya

memang telah lama kelaparan, karena memang betul, yang ternyata sarapannya

telah di curi habis di musim kemarau.

“di restoran sana, meja-meja berjajar rapi” katamu

memesona hati untuk merangkuhnya, apalagi ketika di tambah

menu masakan beranika warna, ada yang hitam pekat,abu-abu,

biru langit, hijau daun belada dan ada pula yang berwarna merah saga

O,iya ketika telah lupa ternyata disana ada yang berwarna jingga.

Semerah dagin kita, atau jangan-jangna itu memang daging kita

Ayang tersayat tatkala kita terperangah dan lupa, lupa paa derik pintu

Ketika mereka buka dengan sdemikian rupa, atau di saat pintu lemari

Dengan lengahnya kita tidak mengunci.

Tidak! Itu bukan alas an tentang berita kehilangan! Karena merka sengaja

Untuk memiliki lalu di letakkan ke kantongnya yang tak ada isi,

Atau kalau masih muat terkadang merka memasukkan ke saku kosong saepi

“memang hutan tak seluas alasan” kata besit hati pelan dalam kertas sunyi,

tapi aku kini yang demikian tawakkal, lagu dan renadah hati

yang di buat sengaja di jadikan mainan oleh merka,katku lagi

padahal semua itu adalah memilikku satu-satunya yang akau punya,

san kata dokter malikat, tidak boleh tersobek walau hanya sekarat daging

sebab betapa besar sakit tubuh ketika sesuit punggung telah di curi

tampa sepengetahuan aku pemilik peribadi, kemudian, kemudian bagaimana duduknya aku ini

“barangkali dia bukan pacar setia, ketika melepas jemarimu sebelum senja itu tiba”

sebab aku bukan lelaki pencuri, tidak seoerti meraka


Wajah Yang Samar

Oleh : Iswatul khomsah

Jika ku robek segumpalan kabut

Yang menutup pada sinar rembulan

Maka wajah sang pengharap

Hanya tersenyum dengangan kemunafikan

Asing rupamu sudah tak menuai anggur

Di dalam kedalaman pencinta dan mimpi

Tersebab senyum sebagai ulasan

Pada bili tersembunyi

Cobalah kau rapatkan dengan cermin

Agar terlihat jelas dalam warna

Tersebab kepulihanmu asaku

Dan hilangku kelemahanmu.

** Pojok STIK@, 22 Januari 2008.


KEMARAU HATIKU

Oleh : Hur Hidayati

Kemarau Hatiku,

Kemarau

Kering kering Aaah, Air-Mu tak Jelma

Air-Mu Tak Jelma

Kemarau hatiku,

Kemarau

Kerontang

Kerontang

Aaah, daundaunnya ranggas

Daundaunnya terserak

Tercecer di tanah-Mu

Tercecer di Tanah-Mu

Adalah

ia menyusup

berburu Rindu

Adalah Air di jiwa bendus

Tak settikp[un ada riak.


BERKELANA DALAM LUKISAN SEJARAH

Oleh: Dedy Eko Reyady

Kaki ini melangkah dengan setatus makna tak terjawab

Mengitari fajar

Yang menaburkan Aroma jiwa

Aku tak percaya langkah ini

Akan membawaku pada sejarah yang ku impi

Sejarah yang membuatku dapat membaca

Hasrat alam semesta

Inilah janji impian yang selalu ku nanti dalam jiwa yang kering.

Aku terkejut dalam nyata yang di hiasi oleh impian

Tatkala kau lemparkan senyum pada diri yang haus akan air mata sucimu

Senyummu telah membuat hati ini hidup kembali

Tatapan wajahmu telah menyuburkan jiwa yang kerontang

Inilah titik kesempurnaan yang ku nanti selama kau pergi

Dalam hidupku

Kepergianmu meninggalkan lukisan sejarah yang tak terhapus

Oleh tetesan bening batu pualam

Yang memancar dari birunya langit

Sinar rembulan meneteskan air kerinduan hingga membisu dalam ruang dan waktu

Tapi dengan satu pertemuan itu, kau telah membuat dedaunan dan ombak mengajakku bernyanyi,bernyanyi dengan lagu yang tak ku kenal

Hamparan pasir dilautan

Gulungan ombk yang menari-nari

Serta hembusan angin laut

Menjadi bukti bisu ketika ku denganmu duduk bersama

Sambil berkelana mengintari lukisan sejarah yang pernah

Kita ukir bersama

Selasa, Juli 2008


Lagu kenangan untuk selatan

Oleh : Sumardono

Warna selatan berkelebat mendayu-dayu

Angin dan daun-daun kersen, pucuk-pucuk bambu dan udara membisu

Berselingkuh dalam deru.

Malam luruh, begitu damai siput kenangan merangkak kesamping

Bulan membawakanku puisi yang mancung seperti bukit merapi

Menyimpan lelendir darah waktu diluar, batu menimbun kelu air mata.

Aku membacamu seperti gunung hijau : batin mengadu kepedihan

Siapa di selatan menggisik biola masa lalu, mendayu-dayu

Gisikan dawai nurani yang pilu, seperti sayu badai di mataku

Mengetuk pintu mata hatiMu

19-20 Februari 2008


Tak pahamkan arti salewhen

Lalu kutulis puisi ini atas hati yang when salewhen,

Kala sebuah kejujuran taklagi menjadi mahkota mu

Kau membuatku salewen,

Antologi Puisi 5

Sajak-Sajak Awie Esto

Tawa Riang Anak-Anak Belukar

sekali kita pernah berucap ikrar

menabur benih janji di padang berhumus dan lumpur

tegak menantang sekali pun matahari kan membakar

dan kita pernah bersama-sama bermimpi bukan!

dari anyaman jerami bidadari bermunculan

lalu kudengar tawa riang: tawa kita anak-anak belukar

sejenak memandang biru lautan

angsa-angsa pun beterbangan pada laskap purnama

kita menyulut jingga jadi bara dalam dada

tawa-tawa renyah membakar cemburu dunia

Percakapan-percakapan terus membangun rumah di angan kita

suatu saat kita pulang ke rumah

rumah yang terbangun dari gundukan pasir

saat mimpi jadi nyata

saat angan telah menjelma kota. Kota di hatimu yang kita bangun

dalam desah batu

mari pula kita berdansa dari percakapan-percakapan tak usai

mata berenang di gelas-gelas dan botol

sedang dahaga tak pernah kita tawari setetes anggur

dahagalah kita oleh raut kata

dahagalah kita akan bunga-bunga di mata

di mata kata dan akhirnya purna

dalam tawa dalam riang

tawa riang anak-anak belukar

Pangesto, 2008

Jalan Ke Pematang

setibanya waktu di senja kala

jalan pulang jalan ke pematang

bertemu satu pada yang jua

nafas-nafas mulai berguguran

kita pun pulang padanya.

pada asal kata ada dan tiada

pada yang mengejawantah

pada yang mula-mula

pada yang tunggal dan sentosa

kita warna pada eksistensinya

kita rupa pada perwujudannya

kata dalam firmannya

angin dalam hembusannya

air dalam kesejukannya

matahari dalam cahayanya

sungai laut muaranya

hu, hu; hu, hu, hu,

lepas waktu mengingatnya

sebelum pulang padanya

hu, hu, hu, hu, hu,

hutang rinduku padanya

hu, hu, hu, hu, hu,

hutang syukurku padanya

hu, hu, hu, hu, hu,

hujan cintaku padanya

hu, hu, hu, hu, hu,

jalan pulang jalan ke pematang

bertemu satu, o, betapa di rindu

Pangennep – Songennep, 2008


Ibu-Ibu Penganyam Tikar

pulang ke kampung

pulang ke ibu. Ibu-ibu penganyam tikar

bulan pun berselancar

di gemulai tangan-tangan

menari-nari sepanjang malam

sepanjang waktu dirajutnya harapan pada tiap jengkal anyaman

anyaman waktu melintas ratap

ratap pada bulan moga jangan cepat susut ke barat

rebab bila tak selesai sehelai

hawatir tak lagi sembunyi di selonjoran

malam cepat nian menggulung layar hitam

hitam waktu anakku

hitam melegam haruku

ibu-ibu menakar rusuh di hatinya sembilu

cepat ini siang pulang ke sarang

dan biarkanlah bulan berselancar di pangkuan

sampai tuntas gemulai tangan

sampai selesai sehelai tikar

Pangennep –Songennep, 2008


Laki-laki Itu Bernama Sumantri

di perempatan jalan kota

tepat ketika lampu itu bernyala merah

laki-laki itu berteiak dan menyebut namanya

sumantri akulah sumantri

diam sejenak aku pun menikmati sendawanya

aku dulu menteri tapi aku berhenti

dan orang-orang sejak itu memanggilku sumantri

menteri edan karna tak mau uang sogokan

menteri karatan karna tak mau mobil sedan

lalu aku berhenti jadi menteri gara-gara dituduh korupsi

padahal aku tak makan apa-apa

sumantri sumantri sumantri terus bercerita

tentang air mata, bumi indonesia

bumiku darah

bumiku nanah

pertiwiku o, berair mata

rakyatku o, putih mata

sumantri berair mata

kenapa indonesia tak kunjung sentosa?

kenapa, perlukah ada tanya!

Indonesia mari bercinta

Pangesto – Songennep 2008


Perahu-Perahu Karam Di Bening Matamu

luka telah purnama

ketika laut tak lagi mendeburkan sajak kita

tentang cinta: angin risau

hingga perahu-perahu karam di bening matamu

sampai tak ada yang tersisa dari yang kita sebut rindu

juga cinta ini bukan!

kembali ke senja kelopak bunga tak mewarna

menanti petang itu tiba

hempasan terakhir kata-kata sajak tak juga bermakna

kita pulang ke asal kebencian yang tak menemu ruang

pun bukan siapa-siapa

tidak juga kau!

ada lagi kah akan kita

menyisih di rumah yang pernah kita huni

halaman yang terlantar adalah sajak rumputan yang mulai kejang

Pangesto - Songennep, 2008

Awie Esto nama pena dari Sahnawi kelahiran Batang-Batang, Sumenep, 04 Januari 1984. Mahasiswa Jurusan Pandidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PRI Sumenep, menetap dan mengabdikan diri di Lembaga Kajian Seni Budaya "Pangestoh " Net-ThinK Community Sumenep.


Sajak-Sajak Amin Bashiri

AIDA

ada yang semestinya mengenalkan diriku pada pertemuan rahasia itu

bunga yang langsat di pipimu kini bermekaran

jauh pelangi meniduri hujan pada waktu musim yang sempat kusembunyikan sebagai kado buatmu

rinai sinar matahari membakar degup jantung

aku tak tahu, apakah itu adalah irama dari embun yang menetes tadi pagi

atau hanya sunyi yang sengaja dibawa kunang-kunang bersama cahaya di perutnya

dan sepertinya tunas-tunas hijau kini telah menjelma sorga di dadaku

dari lekuk bulan telah kujatuhkan namamu sebagai mahkota di ranjang langit

namun tak ingin kudengar tangisan parau gelombang setelah sutera menjala ke laut melepas cemas dari mulutku

pertemuan kita adalah pertautan langit dengan laut

tanpa sebilah belati tajam sebagai penusuk bungkam janji

Soklancar, 06 maret 2008


Surat Cinta Dalam Hujan

akhirnya,

menjelang burung- burung terbang bertafakkur di antara sarang-sarang ilalang

suatu langkah dua pasang kaki tergontai berjalan ke arah cakrawala

yang terasa suci dari perjalanan, sebelum irama harmonika sempat ditiup bertasbih di ruang-ruang jantung

begitulah awal surat cinta terbaca oleh awan

dan aku hanya mampu ciptakan diam dengan genangan air hujan yang senantiasa menulis jelaga di kepalaku

wahai ombak, bergemuruhlah

masih ada sedikit angin dingin tertiup

namun belum beku

sebelum dibakar perapian matahari

kemudian awal salammu adalah embun getarkan daun-daun

“assalamu`alaikum”

kembali urat-urat belukar masa silam mengeret putaran jarum jam menuju waktu itu

dimana kau sembunyikan seru dzikirmu dalam lenguh laron-laron

di luar purnama masih nyalang memandang

para kawanan jangkrik masai bernyanyi dengan kunang-kunang

apa itu pesta?

sengaja semua kujatuhkan dalam ingatanku tentangmu

hingga lembar demi lembar berjatuhan

ada batu dan gerimis jingga yang pada waktu itu ikut menyapa pergumulan kita di lembah bertebing karang

juga dalam suratmu kerudung merah muda selalu melilit dengan tinta-tinta

bukankah harus kurobohkan tiang-tiang pengikat!

ini kali dalam air mata meleh lilin tanpa api melainkan suara- suara kecil mirip nyanyian dari mulutmu

ya, kukenal renyah suaramu dengan lipatan hari yang tak begitu lama menguliti pohon-pohon hingga berakar rayap

dan jadwal esok dalam perziarahan menuju keindahan hitam jubahmu akan terselesaikan

(hujan masih mendekap perjalanan ritmisku dengan suratmu dan kubiarkan jiwa-jiwa tenang, hingga dua lampion yang bersinar itu tertawa dengan sepasang sayap dingin di punggungnya)

Soklancar, 21 Maret 2008


Sajak Dua Belas

bersama gugur hari-hari perlahan terlepas dari kalender sungai itu

sempat kutabahkan penantian lewat dua buah pohon pinang tegak menantang matahari

pada angin pembawa kabar dari mulut sengaja mencuri kesangsian matahari di balik awan hijau jubahmu

peleraian sengketa ular-ular tak kunjung selesai

seperti membaca keruh terus menerus mengalir bersama arus peluhku, kau tetap tak datang bahkan dalam mimpi burung-burung

aku tahu, mungkin kau membunuh siang dengan belati dingin di tanganmu

sebab selalu saja hari ini dingin mengitari melepas ikan-ikan berloncatan mendengarkan percakapanku dengan bunga-bunga

semerbaknya mulai terbaca

kemudian satu persatu kutanggalkan nafas dekat sungai berbatu embun

menjelma karang runcing, cadas mencabik-cabik waktu

dan adzan gema dari jerami nun melengkung seperti bulan sabit alismu

tiba-tiba hari kau datangkan malam tanpa sepatah kata yang sempat membuatku terkejut menyisakan degup terkatup dalam bibir

lumut-lumut tertawa

sejumlah pahatan liang kubur kau pesan atas namaku

namun derai ngilu jantung terus berpacu mencari kau bersembunyi

dimana akhir bintang menuntaskan cahayanya?

dzikir-dzikir

malam

bahkan tahajjudku telah kau setubuhi dengan ayat-ayat

masih saja kau diam bersama gelap di tangan penjala

seekor laba-laba tua hampir menyelesaikan sulamannya jelaga di sudut tubuhku

menuggu kau dan keranda tuamu

sejak kain kafan terbentang lurus mengitari mimpi-mimpi

dan permainan kita belum selesai seperti waktu Ibrahim mencari tuhannya

akhirnya sebuah ritmis perjalan termulai perlahan di ranjang pergumula sebelum hujan diam-diam membaca jejakmu

kita selesai sampai disini…

Soklancar, 08 April 2008


Sajak Tiga Belas

sebenarnya waktu yang terpasung dekat muara itu telah kuhanyutkan bersama kerinduanku karena matahari

dari bola matamu kutakdirkan segenap pasrah yang melingkar dalam doaku

sebab tak mampu kuterjemahkan ujung rambutmu malaikat-malaikat turun berselancar pekat yang hendak menudingku

jantung tak lagi mendetak-detak,

irama dari mulutmu itu adalah waktu yang kau suguhkan padaku menjelang perjamuan kita di ranjang pertama

sepertinya kebisuan bunga-bunga adalah segelas kopi pagi ini

aku lihat sejarah berlarian di kejar waktu sambil menyingkap ujung belati

apa kau hendak membunuhnya?

para daun dan tasbih embun di tangan mereka telah mencair tak hiraukan percakapan matahari semakin terik mendiami langit

adalah sunyi yang terus menjadi pertanyaan, mengapa harus kepompong yang menetaskan kupu-kupu

takdir menyisir sekitar darahmu hingga kau lupa

batu-batu itu adalah tempatmu duduk sebelum pergi tinggalkan perih duri menusuk senja

Soklancar, 12 April 2008


Rhapsody: Pada Sebuah Jalan Menikung

sebuah sisi gang gulita: pernah menyimpan seribu macam alasan tentang kegelisahan saat itu

nyanyi-nyanyi rumput_ gigil daun-daun _bahkan kegelisahan yang tersimpan di satu ruang otakku ketika kau datang dengan susut embun dan matahari

malam kukecap begitu gelap ditanganku masih setia menggenggam kecemburuan atas ayat-ayat pertunangan, pernikahan dan ayat tentang janjimu_ berlayar ke arah bulan juga wasiat gending matamu tentang mata yang terejam seribu dzikir

disana, disebuah gunung terjal yang pernah meyulam mimpi-mimpi itu kembali melemparku pada rekayasa ulang tentang tembang anyir jiwamu . juga permainan yang masih belum usai menimbang ragu atas pengabdianku dan sepercik hianat dari lembab bibirmu

ataukah dijalan ini saat matahari mulai bosan menyaksikan pertikaian hati dengan namamu jauh tak terkira melempar jasad yag dulu beradu_simpuh dan menangis dekat pusara yang kugali sebagai muara dari kata-kata

namun sajak tetaplah sajak yang selalu menyimpan ingatan tentang mawar yang kau tanam di jantungku kini telah tumbuh dengan duri membelit gerak tarian yang pernah kau persembahkan untuk purnama

seusai perbincangan: entah yang keberapa

aku seperti menyimak kembali perdebatan angin sebelum badai

dan kau dengan dengan kabar dari cecak yang berunding di balik dinding kamarku

“perempuan yang berlari dengan sebilah belati tak harus bunuh diri, selendang yang ia biarkan terus tergerus angin adalah sisi dari tumbal perjamuan semalam”

tapi baiklah,

aku mengerti saat matahari esok mulai menyapa tubuhku dari mimpi panjang_aku tidak akan pernah berhenti tertawa kepada langit yang saat itu juga mulai menepi ke arah dermaga.

kemudian aku akan menunggu hari itu lagi sebagai hari kedua setelah semua lenyap menyisihkan sedikit percakapan dalam ruang-ruang_bangku-bangku kosong dan tegak dinding lusuh tempat kau menyandarkan tubuhmu sehabis mandi

saat eksekusi malam itu dengan vonis bahwa sebentar lagi jantungku akan terhenti _menyingkap waktu_aku akan kaku kemudian mengingatmu seperti perih yang tak terhenti bahkan sampai dimensi kematian yang kau bangun tadi pagi

Rumah Pengestoh, 11 Agustus 2008

Amin Bashiri, mahasiswa STKIP PGRI Sumenep. Kelahiran Kebunan, 29 Januari 1988. bergiat di Lembaga Kajian Seni Budaya "Pangestoh" Net_ Think Community Sumenep dan Kompolan Pangarang Songennep (KomPaS).