24 Desember 2008

Kaderisasi PMII Matisuri

Oleh Asep Saefullah, S.PdI

Keberlangsungan sebuah organisasi non pemerintahan (Non Government Organization/NGO) semisal PMII hampir sepenuhnya bergantung pada kematangan kaderisasi baik dalam wilayah konsep lebih-lebih pada pengaplikasiannya di lapangan. Kaderisasi, dalam pemahaman penulis, adalah proses yang wajib dilalui oleh setiap kader baik penguatan basik intelektual dan penguatan profesionalitas spesifikasi bidang yang dengannya diharapkan terbentukanya kedewasaan dan kematangan berfikir, dan kesiapan mengambil peran di tengah-tengah masyarakat multidimensi.

Tanpa bermaksud menafikan urgentisitas persoalan lain di PMII, proses kaderisasi, tidak boleh tidak harus terus dioptimalkan. Lantaran kontinyuitas proses kaderisasi menentukan output PMII yang akan dihasilkan. Kemandekan kaderisasi adalah tanda nyata dari awal ambruknya sebuah organisasi.

Berangkat dari kesadaran itu, PMII sudah semestinya konsen untuk mengembangkan konsep kaderisasi yang terus menerus berorientasi pada kesesuaian kapabilitas kader dengan realitas konteks kekinian. Gagasan bahwa PMII harus sudah memulai mendistribusikan kadernya pada berbagai ranah meniscayakan konsep kaderisasi yang matang dan kompleks. Ide itu terasa sangat sesuai mengingat wilayah-wilayah publik atau pemerintahan butuh untuk segera direbut oleh kader-kader PMII.

Setidaknya beberapa tahun terakhir dan sampai saat ini, ide itu menjadi elan vital konsep kaderisasi PMII. Penulis beranggapan, pemerataan distribusi kader dalam berbagai wilayah terasa tetap relevan dan mesti terus lebih digalakkan.

Persolah yang muncul kemudian, dalam wilayah pengaplikasian, ide brillian itu seringkali berbenturan dengan banyak hal. Yang paling kentara diantaranya adalah atmosfer politis di tubuh internal PMII. Momen-momen politis semisal kongres, konkorcab, konfercab, dan RTK seringkali lebih mendominasi warna dari organisasi PMII. Satu sisi hal itu kemestian dan wajar adanya, tetapi di sisi lain atmosfer yang demikian tak jarang “menjebak” banyak kader-kader potensial PMII untuk melulu berkecimpung dalam bidang politik(internal PMII) sembari lalai untuk konsen mengembangkan potensi masing-masing pribadi yang telah ada. Pengembangan skill dan kapabilitas kader menyangkut bidang-bidang di wilayah lain sedikit demi sedikit tergeser. Pola pikir yang merebak di kalangan kader PMII sendiri masih bisa dikatakan “manual” dan logosentris. Keberhasilan dalam organisasi masih sering diukur dari jabatan formal yang disandang kader di tubuh kepengurusan. Sementara capaian-capaian yang lain disisihkan dan tidak dilirik. Padahal kontribusi dan peran kader dalam bidang apapun adalah kreativitas yang justru melebarkan wilayah garap PMII sendiri.

Imbasnya yang paling kentara, disadari atau tidak, konsep kaderisasi yang telah dianggap matang itu terbengkalai. Penguatan intelektual kader di PMII acapkali hanya pengakumulasian kekuatan untuk berkiprah di kancah politik. Hampir bisa dikatakan, kaderisasi yang dilakukan sampai saat ini miskin dari gairah mengeksplorasi masing-masing bidang yang diminati untuk kemudian menjadi kader yang mumpuni di ranah-ranah lain selain ranah politis. Seolah-olah, atmosfer politis telah menggiring mayoritas kader PMII untuk ramai-ramai berkiprah di dunia politik. Sementara wilayah-wilayah lain di luar wilayah politik seringkali luput dari perhatian. Ruang-ruang kosong pada wilayah ekonomi, sains, teknologi, budaya, dan lainnya yang mestinya segera diduduki oleh kader-kader PMII tetap saja terabaikan.

Di samping itu, momen-momen politis di tingkatan atas seringkali molor dan tidak tepat waktu. Meski terlihat remeh, kenyataan itu sangat terasa implikasinya di tingkatan terbawah, yaitu rayon dan komisariat. Kita terbiasa menyaksikan kemoloran waktu pergantian kepengurusan diberbagai level kepengurusan sebagai sesuatu yang wajar dan alami. Padahal, “kewajaran” itu, acapkali harus dibayar dengan terlunta-luntanya konsistensi proses kaderisasi di tingkatan rayon dan komisariat.

Lokalitas Materi Kaderisasi

Berbicara kaderisasi sepertinya sembilan puluh persen berbicara rayon dan komisariat. Di samping kedekatan rayon dan komisariat dengan kader, situasi di wilayah keduanya juga lebih terkondisikan untuk lebih khidmat untuk memulai berproses membangun kapabilitas kader di berbagai ranah. Karena itu, tanggung jawab komisariat dan rayon secara otomatis lebih besar atas berhasil dan tidaknya proses kaderisasi.

Yang tak kalah pentingnya dalam hal kaderisasi adalah kurikulum kaderisasi. PMII sebagai organisasi besar kemahasiswaan tentu memiliki kurikulum yang jelas tentang bagaimana proses kaderisasi dijalankan, dan level-level kaderisasi yang mesti dilewati dan didalami.

Persoalannya, kurikulum kaderisasi PB PMII sebagai pedoman bagi setiap pelaksanaan proses kaderisasi pada level kepengurusan di bawahnya seringkali tidak relevan dengan kondisi dan situasi lokal masing-masing kampus. Meski di sisi lain, secara ideal, penulis beranggapan bahwa konsep yang telah ditaburkan ke level komisariat dan rayon telah singkron dengan kebutuhan menjawab tantangan jaman. Ke tidak conect-an tadi tak jarang memunculkan kesulitan dan lebih-lebih mampu mengkerangkeng kreativitas rayon dan komisariat dan seutuhnya mengiblat pada kurikulum yang telah disediakan PB PMII.

Oleh karena itu butuh ruang-ruang dimana masing-masing rayon dan komisariat bisa secara bebas menerjemahkan bahkan menciptakan kurikulum kaderisasi yang landing dengan realitas kampus dan masyarakat sekitar. Kurikulum kaderisasi dari PB PMII harus dipahami sebagai gambaran global dalam rangka memunculkan kreativitas masing-masing rayon dan komisariat guna menghadirkan kurikulum dan materi anyar yang lebih elegan, “ramah”, dan lebih mudah diterima oleh mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan. Dalam bahasa lain, perlu ada usaha lokalisasi(pe-lokal-an) kurikulum atau materi yang telah disusun.

Persoalan di atas butuh disikapi oleh seluruh kader dan terutama jajaran kepengurusan di semua level. Pesoalan yang pertama butuh kesadaran untuk bagaimana membangun organisasi tanpa mengabaikan konsistensi dan komitmen dari usaha pengkaderan. Sementara yang kedua, PB PMII harus mulai mempertimbangkan pembentukan kurikulum dengan metode yang bottom up guna meminimalisir ketidaksingkronan kurikulum dengan lokalitas kampus dan masyarakat dimana PMII itu tumbuh. Di samping secara terus menerus, komisariat dan rayon, mengupayakan kreativitas dalam menerjemahkan kurikulum kaderisasi yang telah terbentuk.

1 komentar:

  1. tulisan ini saya persembahkan untuk semua pengurus di semua level kaderisasi untuk dijadikan perenungan dan perbaikan ke depan

    BalasHapus