24 Desember 2008

Misi Pesantren Yang Mulai Terabaikan

M. Muhri Zain
[Ketua Umum PC PMII Sumenep 2008-2009]

Lahirnya format baru sistem pengembangan pesantren modern (formal) yang kurang terarah seperti di atas, secara tidak langsung, akan membawa dampak yang kurang baik bagi kelestarian tradisi pesantren. Dan diantara hal penting yang paling merugikan tradisi pesantren nantinya adalah: Pertama, akan semakin lemahnya potensi kemandisian pesantren, baik secara institusional maupun kelembagaan. Kedua, semakin lemahnya kekuatan sosial pesantren sebagai alat penyaring budaya (agent of cultural control) khususnya bagi kalangan masyarakat pesantren (kaum santri). Ketiga, dan saya kira inilah yang paling utama dan paling pertama, yaitu akan semakin terabaikannya misi dakwah Islamiyah yang sebetulnya merupakan misi utama dan tujuan pokok lahirnya trdadisi pesantren di bumi nusantara ini.

Sebab, bukan tidak mungkin, suatu saat nanti ummat Islam Indonesia akan mengalami benturan keras untuk yang kesekian kalinya dengan realitas yang jauh lebih hebat dan lebih kejam dari sistem penjajahan kolonialis sebelumnya, yakni ancaman dari lahirnya “the post-kolonialism” atau bahasa lain dari ancaman pasar global (the free market of global world) yang mulai mengintai negeri kita yang kaya hutang ini. Sehingga, dalam banyak hal, komunitas pesantren yang ada sekarang—semestinya—harus memperkuat eksistensinya dengan memperkukuh bangunan tradisi pendidikan Islam yang diembannya, sehingga dengan begitu—melalui langkah-langkah baru yang lebih cermat dan mengedepankan kepentingan-kepentingan masyarakat umum, dengan tujuan semata-mata untuk mengemban amanat Allah—maka, “tradisi pesantren” akan tetap dan terus mampu menjadi payung bagi ummat Islam Indonesia, dan untuk yang kesekian kalinya akan mampu membela dan memperjuangkan kemandirian ummat Islam khususnya kaum santri sebagai komponen utamanya.

Maksudnya adalah, bagaimana kemudian tradisi pesantren ini bisa terus eksist dan tetap kualified dalam menghadapi terjangan arus global, dengan tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai tradisi pendidikan Islam ala-Indonesia. Bagaimana kemudian tradisi ini tetap berpegang teguh pada pendiriannya sebagai agent bagi Islam untuk Indonesia, yang mengemban misi dakwah dan pendidikan, dan mampu memikul amanat Islam sebagai teologi pembebasan dan agama cinta (Dienurrohmah).

Maka dari itu, representasi pesantren akan sangat penting posisinya dalam area perubahan sosial terutama jika pesantren bisa secara kontinyu menjadi pendukung statuta politik tertentu baik dalam wilayah individu, partai politik, dan negara.

Fokus pembahasan dalam halaqoh ini berangkat dari penilaian terjadinya mobilisasi pesantren atau kyai yang erat hubungannya dengan persoalan di sekitar perubahan sosial. Dalam konteks seperti ini dapat dijadikan satu perspektif bagaimana pesantren menjadi salah satu daya tarik bagi stakeholder untuk mencari justifikasi sosial atau sebagai ladang bagi penyucian keagamaan (al-taqdis al-diniyyah) dalam rangka mencapai popularitas personal dan kelompok.

Sayangnya, jika orientasi sosial kyai hanya terfokus pada status legitimasi kasus per kasus dalam pranata social, maka reproduksi sosial akan segera mandek. Kekuasaan sebagai target transformasi seringkali diupayakan dengan men-subhat-kan agama menjadi make-up kepentingan sosial. Orientasi ini bisa sedikit dimengerti dengan pertimbangan bahwa perubahan sosial tidak mungkin bisa dicapai secara absolut manakala strategi perubahan tidak bisa merambah kekuatan basis yang akan dijadikan alat pendukung (kekuatan massa). Dan kekuatan basis tersebut sangat mungkin dapat didekati dengan memanfaatkan patron-patron kunci yang mengendalikan kekuatan massa riil.

Di sisi lain, kehadiran pesantren dalam ikut menumbuhkan suatu tatanan kebangsaan yang demokratis juga banyak melahirkan sejumlah gagasan orisinil mengenai demokratisasi yang digali dengan baik dari tradisi lokal. Hal ini berarti bahwa pola pemikiran pesantren bisa menjadi dasar bagi tumbuhnya gerakan kewarganegaraan; atau pesantren merupakan salah satu kekuatan demokrasi yang lahir dari gagasan orisinil keagamaannya yang bisa menjadi pondasi bagi penegakan etika sosial ke depan. Tentunya, hal ini membutuhkan berbagai prasyarat-prasyarat dengan terlebih dahulu meniupkan iklim demokratisasi ke dalam tubuh pondok pesantren yang tidak meninggalkan etika dan normativitas pesantren yang selama ini menjadi ciri khasnya. Demikian sebagaimana yang dipesankan oleh K.H Hasyim Asy’ari: muhafadhatu al-muqaddim ash-shalih wa akhda bi al-jadid al-ashlah (menjaga nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik).

Oleh karena itu, jika pesantren hendak dijadikan sebagai komunitas dasar bagi tumbuhnya demokrasi maka seharusnya pesantren juga mempunyai akar kuat agar bisa menciptakan demokratisasi melalui suatu gerakan baru; atau pesantren seharusnya menjadi salah satu bagian dalam pendidikan politik warga negara untuk berpartisipasi dalam tujuan membentuk negara yang beriklim demokratis. Artinya, fungsi pesantren, dalam pengertian luas, seharusnya bisa menjadi katalisator bagi berlangsungnya proses-proses transformasi sosial. Misalnya, melalui budaya pendidikan mandiri yang mana dapat diperoleh kesadaran kultural bagi terciptanya kehidupan demokrasi yang diartikulasikan dalam pengertian yang sebenarnya, yakni mencerminkan tingkat otonomi dan partisipasi masyarakat dalam membentuk sebuah negara yang berdaulat atas nama rakyat. Jadi pada tahap ini, negara hanyalah merupakan representasi kedaulatan rakyat yang dibangun melalui institusi rakyat –seperti pesantren– yang keberadaannya tidak semata-mata diukur dari kekuatan struktur yang status quo, melainkan menjadi sebuah negara yang demokratis ketika seluruh fungsi kelembagaan masyarakat mampu beroperasi secara independen guna menopang berjalannya negara yang respektif dan bertanggung jawab terhadap seluruh kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

Mengingat pesantren adalah lembaga yang lahir dari sebuah bentuk penyelenggaraan pendidikan dari masyarakat murni dan bukan berasal dari kebutuhan negara, maka representasi pesantren sebagai basis kekuatan civil society memiliki nilai fungsional untuk memperkuat sistem edukasinya sehingga demokratisasi itu betul-betul lahir dari sebuah masyarakat beradab dan bukan masyarakat kanibal. Penguatan sistem edukasi sebagai basis penguatan civil society ini tentunya berkorelasi langsung dengan persoalan pendidikan di Indonesia sekarang ini yang masih sangat memprihatinkan.

Melalui sekian persepsi dan analisis tentang pesantren dan representasi tradisi keagamaan yang dihubungkan dengan bentuk relasi yang agama, maka penyusunan buku ini tentu tidak bisa dilepaskan dari bagaimana peran pesantren di satu sisi dan keberadaan negara di sisi lain bisa membawa sejarah politik demokrasi di Indonesia menjadi lebih dinamis. Hal tersebut tidak lepas pula dari keinginan agar gairah substansial dari relasi antara pesantren dan masyarakat itu bisa dimengerti sebagai suatu kesatuan yang produktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar