Sajak-Sajak Awie Esto
Tawa Riang Anak-Anak Belukar
sekali kita pernah berucap ikrar
menabur benih janji di padang berhumus dan lumpur
tegak menantang sekali pun matahari kan membakar
dan kita pernah bersama-sama bermimpi bukan!
dari anyaman jerami bidadari bermunculan
lalu kudengar tawa riang: tawa kita anak-anak belukar
sejenak memandang biru lautan
angsa-angsa pun beterbangan pada laskap purnama
kita menyulut jingga jadi bara dalam dada
tawa-tawa renyah membakar cemburu dunia
Percakapan-percakapan terus membangun rumah di angan kita
suatu saat kita pulang ke rumah
rumah yang terbangun dari gundukan pasir
saat mimpi jadi nyata
saat angan telah menjelma kota. Kota di hatimu yang kita bangun
dalam desah batu
mari pula kita berdansa dari percakapan-percakapan tak usai
mata berenang di gelas-gelas dan botol
sedang dahaga tak pernah kita tawari setetes anggur
dahagalah kita oleh raut kata
dahagalah kita akan bunga-bunga di mata
di mata kata dan akhirnya purna
dalam tawa dalam riang
tawa riang anak-anak belukar
Pangesto, 2008
Jalan Ke Pematang
setibanya waktu di senja kala
jalan pulang jalan ke pematang
bertemu satu pada yang jua
nafas-nafas mulai berguguran
kita pun pulang padanya.
pada asal kata ada dan tiada
pada yang mengejawantah
pada yang mula-mula
pada yang tunggal dan sentosa
kita warna pada eksistensinya
kita rupa pada perwujudannya
kata dalam firmannya
angin dalam hembusannya
air dalam kesejukannya
matahari dalam cahayanya
sungai laut muaranya
hu, hu; hu, hu, hu,
lepas waktu mengingatnya
sebelum pulang padanya
hu, hu, hu, hu, hu,
hutang rinduku padanya
hu, hu, hu, hu, hu,
hutang syukurku padanya
hu, hu, hu, hu, hu,
hujan cintaku padanya
hu, hu, hu, hu, hu,
jalan pulang jalan ke pematang
bertemu satu, o, betapa di rindu
Pangennep – Songennep, 2008
Ibu-Ibu Penganyam Tikar
pulang ke kampung
pulang ke ibu. Ibu-ibu penganyam tikar
bulan pun berselancar
di gemulai tangan-tangan
menari-nari sepanjang malam
sepanjang waktu dirajutnya harapan pada tiap jengkal anyaman
anyaman waktu melintas ratap
ratap pada bulan moga jangan cepat susut ke barat
rebab bila tak selesai sehelai
hawatir tak lagi sembunyi di selonjoran
malam cepat nian menggulung layar hitam
hitam waktu anakku
hitam melegam haruku
ibu-ibu menakar rusuh di hatinya sembilu
cepat ini siang pulang ke sarang
dan biarkanlah bulan berselancar di pangkuan
sampai tuntas gemulai tangan
sampai selesai sehelai tikar
Pangennep –Songennep, 2008
Laki-laki Itu Bernama Sumantri
di perempatan jalan kota
tepat ketika lampu itu bernyala merah
laki-laki itu berteiak dan menyebut namanya
sumantri akulah sumantri
diam sejenak aku pun menikmati sendawanya
aku dulu menteri tapi aku berhenti
dan orang-orang sejak itu memanggilku sumantri
menteri edan karna tak mau uang sogokan
menteri karatan karna tak mau mobil sedan
lalu aku berhenti jadi menteri gara-gara dituduh korupsi
padahal aku tak makan apa-apa
sumantri sumantri sumantri terus bercerita
tentang air mata, bumi indonesia
bumiku darah
bumiku nanah
pertiwiku o, berair mata
rakyatku o, putih mata
sumantri berair mata
kenapa indonesia tak kunjung sentosa?
kenapa, perlukah ada tanya!
Indonesia mari bercinta
Pangesto – Songennep 2008
Perahu-Perahu Karam Di Bening Matamu
luka telah purnama
ketika laut tak lagi mendeburkan sajak kita
tentang cinta: angin risau
hingga perahu-perahu karam di bening matamu
sampai tak ada yang tersisa dari yang kita sebut rindu
juga cinta ini bukan!
kembali ke senja kelopak bunga tak mewarna
menanti petang itu tiba
hempasan terakhir kata-kata sajak tak juga bermakna
kita pulang ke asal kebencian yang tak menemu ruang
pun bukan siapa-siapa
tidak juga kau!
ada lagi kah akan kita
menyisih di rumah yang pernah kita huni
halaman yang terlantar adalah sajak rumputan yang mulai kejang
Pangesto - Songennep, 2008
Awie Esto nama pena dari Sahnawi kelahiran Batang-Batang, Sumenep, 04 Januari 1984. Mahasiswa Jurusan Pandidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PRI Sumenep, menetap dan mengabdikan diri di Lembaga Kajian Seni Budaya "Pangestoh " Net-ThinK Community Sumenep.
Sajak-Sajak Amin Bashiri
AIDA
ada yang semestinya mengenalkan diriku pada pertemuan rahasia itu
bunga yang langsat di pipimu kini bermekaran
jauh pelangi meniduri hujan pada waktu musim yang sempat kusembunyikan sebagai kado buatmu
rinai sinar matahari membakar degup jantung
aku tak tahu, apakah itu adalah irama dari embun yang menetes tadi pagi
atau hanya sunyi yang sengaja dibawa kunang-kunang bersama cahaya di perutnya
dan sepertinya tunas-tunas hijau kini telah menjelma sorga di dadaku
dari lekuk bulan telah kujatuhkan namamu sebagai mahkota di ranjang langit
namun tak ingin kudengar tangisan parau gelombang setelah sutera menjala ke laut melepas cemas dari mulutku
pertemuan kita adalah pertautan langit dengan laut
tanpa sebilah belati tajam sebagai penusuk bungkam janji
Soklancar, 06 maret 2008
Surat Cinta Dalam Hujan
akhirnya,
menjelang burung- burung terbang bertafakkur di antara sarang-sarang ilalang
suatu langkah dua pasang kaki tergontai berjalan ke arah cakrawala
yang terasa suci dari perjalanan, sebelum irama harmonika sempat ditiup bertasbih di ruang-ruang jantung
begitulah awal surat cinta terbaca oleh awan
dan aku hanya mampu ciptakan diam dengan genangan air hujan yang senantiasa menulis jelaga di kepalaku
wahai ombak, bergemuruhlah
masih ada sedikit angin dingin tertiup
namun belum beku
sebelum dibakar perapian matahari
kemudian awal salammu adalah embun getarkan daun-daun
“assalamu`alaikum”
kembali urat-urat belukar masa silam mengeret putaran jarum jam menuju waktu itu
dimana kau sembunyikan seru dzikirmu dalam lenguh laron-laron
di luar purnama masih nyalang memandang
para kawanan jangkrik masai bernyanyi dengan kunang-kunang
apa itu pesta?
sengaja semua kujatuhkan dalam ingatanku tentangmu
hingga lembar demi lembar berjatuhan
ada batu dan gerimis jingga yang pada waktu itu ikut menyapa pergumulan kita di lembah bertebing karang
juga dalam suratmu kerudung merah muda selalu melilit dengan tinta-tinta
bukankah harus kurobohkan tiang-tiang pengikat!
ini kali dalam air mata meleh lilin tanpa api melainkan suara- suara kecil mirip nyanyian dari mulutmu
ya, kukenal renyah suaramu dengan lipatan hari yang tak begitu lama menguliti pohon-pohon hingga berakar rayap
dan jadwal esok dalam perziarahan menuju keindahan hitam jubahmu akan terselesaikan
(hujan masih mendekap perjalanan ritmisku dengan suratmu dan kubiarkan jiwa-jiwa tenang, hingga dua lampion yang bersinar itu tertawa dengan sepasang sayap dingin di punggungnya)
Soklancar, 21 Maret 2008
Sajak Dua Belas
bersama gugur hari-hari perlahan terlepas dari kalender sungai itu
sempat kutabahkan penantian lewat dua buah pohon pinang tegak menantang matahari
pada angin pembawa kabar dari mulut sengaja mencuri kesangsian matahari di balik awan hijau jubahmu
peleraian sengketa ular-ular tak kunjung selesai
seperti membaca keruh terus menerus mengalir bersama arus peluhku, kau tetap tak datang bahkan dalam mimpi burung-burung
aku tahu, mungkin kau membunuh siang dengan belati dingin di tanganmu
sebab selalu saja hari ini dingin mengitari melepas ikan-ikan berloncatan mendengarkan percakapanku dengan bunga-bunga
semerbaknya mulai terbaca
kemudian satu persatu kutanggalkan nafas dekat sungai berbatu embun
menjelma karang runcing, cadas mencabik-cabik waktu
dan adzan gema dari jerami nun melengkung seperti bulan sabit alismu
tiba-tiba hari kau datangkan malam tanpa sepatah kata yang sempat membuatku terkejut menyisakan degup terkatup dalam bibir
lumut-lumut tertawa
sejumlah pahatan liang kubur kau pesan atas namaku
namun derai ngilu jantung terus berpacu mencari kau bersembunyi
dimana akhir bintang menuntaskan cahayanya?
dzikir-dzikir
malam
bahkan tahajjudku telah kau setubuhi dengan ayat-ayat
masih saja kau diam bersama gelap di tangan penjala
seekor laba-laba tua hampir menyelesaikan sulamannya jelaga di sudut tubuhku
menuggu kau dan keranda tuamu
sejak kain kafan terbentang lurus mengitari mimpi-mimpi
dan permainan kita belum selesai seperti waktu Ibrahim mencari tuhannya
akhirnya sebuah ritmis perjalan termulai perlahan di ranjang pergumula sebelum hujan diam-diam membaca jejakmu
kita selesai sampai disini…
Soklancar, 08 April 2008
Sajak Tiga Belas
sebenarnya waktu yang terpasung dekat muara itu telah kuhanyutkan bersama kerinduanku karena matahari
dari bola matamu kutakdirkan segenap pasrah yang melingkar dalam doaku
sebab tak mampu kuterjemahkan ujung rambutmu malaikat-malaikat turun berselancar pekat yang hendak menudingku
jantung tak lagi mendetak-detak,
irama dari mulutmu itu adalah waktu yang kau suguhkan padaku menjelang perjamuan kita di ranjang pertama
sepertinya kebisuan bunga-bunga adalah segelas kopi pagi ini
aku lihat sejarah berlarian di kejar waktu sambil menyingkap ujung belati
apa kau hendak membunuhnya?
para daun dan tasbih embun di tangan mereka telah mencair tak hiraukan percakapan matahari semakin terik mendiami langit
adalah sunyi yang terus menjadi pertanyaan, mengapa harus kepompong yang menetaskan kupu-kupu
takdir menyisir sekitar darahmu hingga kau lupa
batu-batu itu adalah tempatmu duduk sebelum pergi tinggalkan perih duri menusuk senja
Soklancar, 12 April 2008
Rhapsody: Pada Sebuah Jalan Menikung
sebuah sisi gang gulita: pernah menyimpan seribu macam alasan tentang kegelisahan saat itu
nyanyi-nyanyi rumput_ gigil daun-daun _bahkan kegelisahan yang tersimpan di satu ruang otakku ketika kau datang dengan susut embun dan matahari
malam kukecap begitu gelap ditanganku masih setia menggenggam kecemburuan atas ayat-ayat pertunangan, pernikahan dan ayat tentang janjimu_ berlayar ke arah bulan juga wasiat gending matamu tentang mata yang terejam seribu dzikir
disana, disebuah gunung terjal yang pernah meyulam mimpi-mimpi itu kembali melemparku pada rekayasa ulang tentang tembang anyir jiwamu . juga permainan yang masih belum usai menimbang ragu atas pengabdianku dan sepercik hianat dari lembab bibirmu
ataukah dijalan ini saat matahari mulai bosan menyaksikan pertikaian hati dengan namamu jauh tak terkira melempar jasad yag dulu beradu_simpuh dan menangis dekat pusara yang kugali sebagai muara dari kata-kata
namun sajak tetaplah sajak yang selalu menyimpan ingatan tentang mawar yang kau tanam di jantungku kini telah tumbuh dengan duri membelit gerak tarian yang pernah kau persembahkan untuk purnama
seusai perbincangan: entah yang keberapa
aku seperti menyimak kembali perdebatan angin sebelum badai
dan kau dengan dengan kabar dari cecak yang berunding di balik dinding kamarku
“perempuan yang berlari dengan sebilah belati tak harus bunuh diri, selendang yang ia biarkan terus tergerus angin adalah sisi dari tumbal perjamuan semalam”
tapi baiklah,
aku mengerti saat matahari esok mulai menyapa tubuhku dari mimpi panjang_aku tidak akan pernah berhenti tertawa kepada langit yang saat itu juga mulai menepi ke arah dermaga.
kemudian aku akan menunggu hari itu lagi sebagai hari kedua setelah semua lenyap menyisihkan sedikit percakapan dalam ruang-ruang_bangku-bangku kosong dan tegak dinding lusuh tempat kau menyandarkan tubuhmu sehabis mandi
saat eksekusi malam itu dengan vonis bahwa sebentar lagi jantungku akan terhenti _menyingkap waktu_aku akan kaku kemudian mengingatmu seperti perih yang tak terhenti bahkan sampai dimensi kematian yang kau bangun tadi pagi
Rumah Pengestoh, 11 Agustus 2008
Amin Bashiri, mahasiswa STKIP PGRI Sumenep. Kelahiran Kebunan, 29 Januari 1988. bergiat di Lembaga Kajian Seni Budaya "Pangestoh" Net_ Think Community Sumenep dan Kompolan Pangarang Songennep (KomPaS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar