23 Desember 2008

Antologi Puisi 5

Sajak-Sajak Awie Esto

Tawa Riang Anak-Anak Belukar

sekali kita pernah berucap ikrar

menabur benih janji di padang berhumus dan lumpur

tegak menantang sekali pun matahari kan membakar

dan kita pernah bersama-sama bermimpi bukan!

dari anyaman jerami bidadari bermunculan

lalu kudengar tawa riang: tawa kita anak-anak belukar

sejenak memandang biru lautan

angsa-angsa pun beterbangan pada laskap purnama

kita menyulut jingga jadi bara dalam dada

tawa-tawa renyah membakar cemburu dunia

Percakapan-percakapan terus membangun rumah di angan kita

suatu saat kita pulang ke rumah

rumah yang terbangun dari gundukan pasir

saat mimpi jadi nyata

saat angan telah menjelma kota. Kota di hatimu yang kita bangun

dalam desah batu

mari pula kita berdansa dari percakapan-percakapan tak usai

mata berenang di gelas-gelas dan botol

sedang dahaga tak pernah kita tawari setetes anggur

dahagalah kita oleh raut kata

dahagalah kita akan bunga-bunga di mata

di mata kata dan akhirnya purna

dalam tawa dalam riang

tawa riang anak-anak belukar

Pangesto, 2008

Jalan Ke Pematang

setibanya waktu di senja kala

jalan pulang jalan ke pematang

bertemu satu pada yang jua

nafas-nafas mulai berguguran

kita pun pulang padanya.

pada asal kata ada dan tiada

pada yang mengejawantah

pada yang mula-mula

pada yang tunggal dan sentosa

kita warna pada eksistensinya

kita rupa pada perwujudannya

kata dalam firmannya

angin dalam hembusannya

air dalam kesejukannya

matahari dalam cahayanya

sungai laut muaranya

hu, hu; hu, hu, hu,

lepas waktu mengingatnya

sebelum pulang padanya

hu, hu, hu, hu, hu,

hutang rinduku padanya

hu, hu, hu, hu, hu,

hutang syukurku padanya

hu, hu, hu, hu, hu,

hujan cintaku padanya

hu, hu, hu, hu, hu,

jalan pulang jalan ke pematang

bertemu satu, o, betapa di rindu

Pangennep – Songennep, 2008


Ibu-Ibu Penganyam Tikar

pulang ke kampung

pulang ke ibu. Ibu-ibu penganyam tikar

bulan pun berselancar

di gemulai tangan-tangan

menari-nari sepanjang malam

sepanjang waktu dirajutnya harapan pada tiap jengkal anyaman

anyaman waktu melintas ratap

ratap pada bulan moga jangan cepat susut ke barat

rebab bila tak selesai sehelai

hawatir tak lagi sembunyi di selonjoran

malam cepat nian menggulung layar hitam

hitam waktu anakku

hitam melegam haruku

ibu-ibu menakar rusuh di hatinya sembilu

cepat ini siang pulang ke sarang

dan biarkanlah bulan berselancar di pangkuan

sampai tuntas gemulai tangan

sampai selesai sehelai tikar

Pangennep –Songennep, 2008


Laki-laki Itu Bernama Sumantri

di perempatan jalan kota

tepat ketika lampu itu bernyala merah

laki-laki itu berteiak dan menyebut namanya

sumantri akulah sumantri

diam sejenak aku pun menikmati sendawanya

aku dulu menteri tapi aku berhenti

dan orang-orang sejak itu memanggilku sumantri

menteri edan karna tak mau uang sogokan

menteri karatan karna tak mau mobil sedan

lalu aku berhenti jadi menteri gara-gara dituduh korupsi

padahal aku tak makan apa-apa

sumantri sumantri sumantri terus bercerita

tentang air mata, bumi indonesia

bumiku darah

bumiku nanah

pertiwiku o, berair mata

rakyatku o, putih mata

sumantri berair mata

kenapa indonesia tak kunjung sentosa?

kenapa, perlukah ada tanya!

Indonesia mari bercinta

Pangesto – Songennep 2008


Perahu-Perahu Karam Di Bening Matamu

luka telah purnama

ketika laut tak lagi mendeburkan sajak kita

tentang cinta: angin risau

hingga perahu-perahu karam di bening matamu

sampai tak ada yang tersisa dari yang kita sebut rindu

juga cinta ini bukan!

kembali ke senja kelopak bunga tak mewarna

menanti petang itu tiba

hempasan terakhir kata-kata sajak tak juga bermakna

kita pulang ke asal kebencian yang tak menemu ruang

pun bukan siapa-siapa

tidak juga kau!

ada lagi kah akan kita

menyisih di rumah yang pernah kita huni

halaman yang terlantar adalah sajak rumputan yang mulai kejang

Pangesto - Songennep, 2008

Awie Esto nama pena dari Sahnawi kelahiran Batang-Batang, Sumenep, 04 Januari 1984. Mahasiswa Jurusan Pandidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PRI Sumenep, menetap dan mengabdikan diri di Lembaga Kajian Seni Budaya "Pangestoh " Net-ThinK Community Sumenep.


Sajak-Sajak Amin Bashiri

AIDA

ada yang semestinya mengenalkan diriku pada pertemuan rahasia itu

bunga yang langsat di pipimu kini bermekaran

jauh pelangi meniduri hujan pada waktu musim yang sempat kusembunyikan sebagai kado buatmu

rinai sinar matahari membakar degup jantung

aku tak tahu, apakah itu adalah irama dari embun yang menetes tadi pagi

atau hanya sunyi yang sengaja dibawa kunang-kunang bersama cahaya di perutnya

dan sepertinya tunas-tunas hijau kini telah menjelma sorga di dadaku

dari lekuk bulan telah kujatuhkan namamu sebagai mahkota di ranjang langit

namun tak ingin kudengar tangisan parau gelombang setelah sutera menjala ke laut melepas cemas dari mulutku

pertemuan kita adalah pertautan langit dengan laut

tanpa sebilah belati tajam sebagai penusuk bungkam janji

Soklancar, 06 maret 2008


Surat Cinta Dalam Hujan

akhirnya,

menjelang burung- burung terbang bertafakkur di antara sarang-sarang ilalang

suatu langkah dua pasang kaki tergontai berjalan ke arah cakrawala

yang terasa suci dari perjalanan, sebelum irama harmonika sempat ditiup bertasbih di ruang-ruang jantung

begitulah awal surat cinta terbaca oleh awan

dan aku hanya mampu ciptakan diam dengan genangan air hujan yang senantiasa menulis jelaga di kepalaku

wahai ombak, bergemuruhlah

masih ada sedikit angin dingin tertiup

namun belum beku

sebelum dibakar perapian matahari

kemudian awal salammu adalah embun getarkan daun-daun

“assalamu`alaikum”

kembali urat-urat belukar masa silam mengeret putaran jarum jam menuju waktu itu

dimana kau sembunyikan seru dzikirmu dalam lenguh laron-laron

di luar purnama masih nyalang memandang

para kawanan jangkrik masai bernyanyi dengan kunang-kunang

apa itu pesta?

sengaja semua kujatuhkan dalam ingatanku tentangmu

hingga lembar demi lembar berjatuhan

ada batu dan gerimis jingga yang pada waktu itu ikut menyapa pergumulan kita di lembah bertebing karang

juga dalam suratmu kerudung merah muda selalu melilit dengan tinta-tinta

bukankah harus kurobohkan tiang-tiang pengikat!

ini kali dalam air mata meleh lilin tanpa api melainkan suara- suara kecil mirip nyanyian dari mulutmu

ya, kukenal renyah suaramu dengan lipatan hari yang tak begitu lama menguliti pohon-pohon hingga berakar rayap

dan jadwal esok dalam perziarahan menuju keindahan hitam jubahmu akan terselesaikan

(hujan masih mendekap perjalanan ritmisku dengan suratmu dan kubiarkan jiwa-jiwa tenang, hingga dua lampion yang bersinar itu tertawa dengan sepasang sayap dingin di punggungnya)

Soklancar, 21 Maret 2008


Sajak Dua Belas

bersama gugur hari-hari perlahan terlepas dari kalender sungai itu

sempat kutabahkan penantian lewat dua buah pohon pinang tegak menantang matahari

pada angin pembawa kabar dari mulut sengaja mencuri kesangsian matahari di balik awan hijau jubahmu

peleraian sengketa ular-ular tak kunjung selesai

seperti membaca keruh terus menerus mengalir bersama arus peluhku, kau tetap tak datang bahkan dalam mimpi burung-burung

aku tahu, mungkin kau membunuh siang dengan belati dingin di tanganmu

sebab selalu saja hari ini dingin mengitari melepas ikan-ikan berloncatan mendengarkan percakapanku dengan bunga-bunga

semerbaknya mulai terbaca

kemudian satu persatu kutanggalkan nafas dekat sungai berbatu embun

menjelma karang runcing, cadas mencabik-cabik waktu

dan adzan gema dari jerami nun melengkung seperti bulan sabit alismu

tiba-tiba hari kau datangkan malam tanpa sepatah kata yang sempat membuatku terkejut menyisakan degup terkatup dalam bibir

lumut-lumut tertawa

sejumlah pahatan liang kubur kau pesan atas namaku

namun derai ngilu jantung terus berpacu mencari kau bersembunyi

dimana akhir bintang menuntaskan cahayanya?

dzikir-dzikir

malam

bahkan tahajjudku telah kau setubuhi dengan ayat-ayat

masih saja kau diam bersama gelap di tangan penjala

seekor laba-laba tua hampir menyelesaikan sulamannya jelaga di sudut tubuhku

menuggu kau dan keranda tuamu

sejak kain kafan terbentang lurus mengitari mimpi-mimpi

dan permainan kita belum selesai seperti waktu Ibrahim mencari tuhannya

akhirnya sebuah ritmis perjalan termulai perlahan di ranjang pergumula sebelum hujan diam-diam membaca jejakmu

kita selesai sampai disini…

Soklancar, 08 April 2008


Sajak Tiga Belas

sebenarnya waktu yang terpasung dekat muara itu telah kuhanyutkan bersama kerinduanku karena matahari

dari bola matamu kutakdirkan segenap pasrah yang melingkar dalam doaku

sebab tak mampu kuterjemahkan ujung rambutmu malaikat-malaikat turun berselancar pekat yang hendak menudingku

jantung tak lagi mendetak-detak,

irama dari mulutmu itu adalah waktu yang kau suguhkan padaku menjelang perjamuan kita di ranjang pertama

sepertinya kebisuan bunga-bunga adalah segelas kopi pagi ini

aku lihat sejarah berlarian di kejar waktu sambil menyingkap ujung belati

apa kau hendak membunuhnya?

para daun dan tasbih embun di tangan mereka telah mencair tak hiraukan percakapan matahari semakin terik mendiami langit

adalah sunyi yang terus menjadi pertanyaan, mengapa harus kepompong yang menetaskan kupu-kupu

takdir menyisir sekitar darahmu hingga kau lupa

batu-batu itu adalah tempatmu duduk sebelum pergi tinggalkan perih duri menusuk senja

Soklancar, 12 April 2008


Rhapsody: Pada Sebuah Jalan Menikung

sebuah sisi gang gulita: pernah menyimpan seribu macam alasan tentang kegelisahan saat itu

nyanyi-nyanyi rumput_ gigil daun-daun _bahkan kegelisahan yang tersimpan di satu ruang otakku ketika kau datang dengan susut embun dan matahari

malam kukecap begitu gelap ditanganku masih setia menggenggam kecemburuan atas ayat-ayat pertunangan, pernikahan dan ayat tentang janjimu_ berlayar ke arah bulan juga wasiat gending matamu tentang mata yang terejam seribu dzikir

disana, disebuah gunung terjal yang pernah meyulam mimpi-mimpi itu kembali melemparku pada rekayasa ulang tentang tembang anyir jiwamu . juga permainan yang masih belum usai menimbang ragu atas pengabdianku dan sepercik hianat dari lembab bibirmu

ataukah dijalan ini saat matahari mulai bosan menyaksikan pertikaian hati dengan namamu jauh tak terkira melempar jasad yag dulu beradu_simpuh dan menangis dekat pusara yang kugali sebagai muara dari kata-kata

namun sajak tetaplah sajak yang selalu menyimpan ingatan tentang mawar yang kau tanam di jantungku kini telah tumbuh dengan duri membelit gerak tarian yang pernah kau persembahkan untuk purnama

seusai perbincangan: entah yang keberapa

aku seperti menyimak kembali perdebatan angin sebelum badai

dan kau dengan dengan kabar dari cecak yang berunding di balik dinding kamarku

“perempuan yang berlari dengan sebilah belati tak harus bunuh diri, selendang yang ia biarkan terus tergerus angin adalah sisi dari tumbal perjamuan semalam”

tapi baiklah,

aku mengerti saat matahari esok mulai menyapa tubuhku dari mimpi panjang_aku tidak akan pernah berhenti tertawa kepada langit yang saat itu juga mulai menepi ke arah dermaga.

kemudian aku akan menunggu hari itu lagi sebagai hari kedua setelah semua lenyap menyisihkan sedikit percakapan dalam ruang-ruang_bangku-bangku kosong dan tegak dinding lusuh tempat kau menyandarkan tubuhmu sehabis mandi

saat eksekusi malam itu dengan vonis bahwa sebentar lagi jantungku akan terhenti _menyingkap waktu_aku akan kaku kemudian mengingatmu seperti perih yang tak terhenti bahkan sampai dimensi kematian yang kau bangun tadi pagi

Rumah Pengestoh, 11 Agustus 2008

Amin Bashiri, mahasiswa STKIP PGRI Sumenep. Kelahiran Kebunan, 29 Januari 1988. bergiat di Lembaga Kajian Seni Budaya "Pangestoh" Net_ Think Community Sumenep dan Kompolan Pangarang Songennep (KomPaS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar