24 Desember 2008

Mahasiswa, Kreatif yang Intelektual

Oleh : Rusman Hadi*)

Ada hal yang selalu mengusik ketenangan penulis akhir-akhir ini, yakni asumsi yang mulai banyak berkembang dikalangan sahabat-sahabat Pergerakan terkait perbedaan yang terkadang berujung pada konflik yang sangat pelik dan tanpa jalan keluar. Dalam fenomena seperti itu ada sebagaian sahabat yang beranggapan bahwa konflik itu mendewasakan, dengan konflik seseorang akan menjadi lebih dewasa, dan asumsi-asumsi lain yang intinya juga sama dengan pemahaman tadi.

Apa yang bermasalah dengan asumsi tersebut ?. Itulah pertanyaan yang sering muncul ketika penulis ingat pada persoalan-persoalan di atas. Tulisan ini merupakan sebuah refleksi dari kegelisahan penulis terhadap asumsi yang dalam pemahaman penulis asumsi tersebut sudah menjadi “penyakit” masyarakat pergerakan. Dalam ulasan singkat dan sederhana ini penulis mencoba meluapkan kegeliasan yang selama ini dialami.

Sepintas, asumsi yang berkemabang tentang konflik itu mendewasakan bukan sesuatu yang salah. Namun juga bukan berarti semuanya itu benar. Artinya adakalanya konflik itu bisa mendewasakan dan kedatangannya menjadi sesuatu yang seakan “wajib” sebagai media pembelajaran. Disisi lain, konflik memang harus dihilangkan, ketika sudah akan memecah sebuah persatuan, termasuk organisasi, bahkan terkadang sampai berujung pada konflik fisik, tentu itu adalah sesuatu yang harus dihindari.

Dalam lingkungan warga pergerakan konflik ini juga menjadi pemandangan yang terus menghiasi warganya. Tentu, lagi-lagi itu juga dengan dasar konflik itu mendewasakan. Entah ada atau tidak yang dewasa dengan konflik itu tidak menjadi soal. Yang terpenting (mereka) hanya inginnya berkonflik (bertengkar) dengan sahabatnya sendiri, dalihnya untuk mendewasakan. Sehingga terkadang sulit untuk dibedakan apakah konfliknya untuk pembelajaran atau hanya kepentingan kelompok, kepentingan orang tertentu yang berkedok konflik untuk mendewasakan dan berdalih demi penyelamatan organisasi.

Melihat dan mendengar hal tersebut penulis hanya berpikir itu penyelamatan organisasi, atau penghancuran organisasi. Jawabannya, dipersilahkan kepada semuanya untuk memikirkan hal tersebut. Silahkan dinilai apakah orang yang memecah persatuan dengan berdalih konflik mendwasakan itu penyelamat atau penghianat. Tentu semuanya sudah bisa menilai.

Kemudian, tidak akan ada kesimpulan yang ingin diambil dari catatan ini, hanya saja penulis memberikan catatan selama ini terjadi dalam lingkungan pergerakan yang notabene insan akademik (mahasiswa) dari aktifitas atau kesibukannya dalam berkonflik ada banyak hal yang terlupakan. Salah satunya mahasiswa sebagai insane akademik, insane intelektual menjadi sesuatu yang kurang diperhatikan. Dalam kata lain seakan, konflik okey, tapi intelektual no.

Aktifitas-aktifitas kajian, diskusi keilmuan atau bahkan budaya baca menjadi sesuatu yang jarang terpikirkan. Sehingga kreatifitas yang bernuansa intelektual jarang lagi kita temukan.

Sebenarnya, berkonflik itu memang wajar, beda pendapat itu tidak masalah namun bukan harus berujung pada pertengkaran, apalagi perpecahan. Makanya semuanya, apalagi mahasiswa yang sering mendengung-dengungkan Demokrasi harus siap juga untuk berdemokrasi. Bukan hanya orang lain yang disuruh demokratis namu dirinya tidak pernah mengamalkannya. Dan tidak boleh ada pemaksaan dalam demokrasi yang akhirnya harus berujung pada perpecahan.

Demokrasi harus siap menang dan siap kalah, bukan hanya berkeinginan untuk mengalahkan kemudian berujung pada pemaksaan. Dan jangan biasakan memulai sesuatu dengan paksaan, karena itu akan melahirkan kebudayaan tidak baik dalam kehidupan demokrasi. Dan itu bagian dari pencederaan terhadap demokrasi.

Penutup, sudah sewajarnya mahasiswa tidak lupa pada jati dirinya sebagai insan akademik. Semua harus menyikapi perbedaan dengan sewajarnya bukan dengan pemaksaan yang kadang juga berdalih aturan yang hanya dicari-cari. Perspektif intelektual sebagai mahasiswa jangan sampai terlupakan. Dan jangan sampai pernah lupa juga bahwa manusia pasti memiliki celah. Itu wajar, manusiawi. Sehingga yang harus dilakukan adalah saling menutupi celah tersebut, saling mengisi kekurangan demi keutuhan suatu organisasi, demi kebesaran organisasi, demi kepentingan bersama. Dan dengan demikian kesibukan kita tidak hanya pada konflik. Tapi berkreatifitas dengan cara-cara yang masih memperhatikan aspek akademik. Selamat Membaca !

.(*Penulis adalah mantan Ketua Komisariat PMII STKIP PGRI Sumenep Masa Khidmat 2007-2008 & Sekarang masih tercatat sebagai Mahasiswa Semister VII STKIP PGRI Sumenep Jurusan Pend. Bahasa & Sastra Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar