23 Desember 2008

Antologi Puisi 4

Puisi Amin Bashiri*

32 SITUS PURNAMA

alif

lam

miim

Purnama dan perempuan itu jatuh atas nama cahya

lau

a

lau

lamhala*

kemudian nur yangbersenggama_lukapun bunga

yaa_siin adalah ruang-ruang rahasia tuhan

dan kau kutundukkan dengwn mata air kembang warna setaman

asap dupa dan historia mantra-mantra

Pangarangan, 11 Juli 2008

* bacaan dari tulisan rajah pengasihan (biasanya di tulis pada daun cempaka

RHYTME

kemudian aku seperti kembali pada ruang lain: dimana ada kau dan jiwa yang terbengkalai_sunyi mendekap lengang di dadaku

sebuah rhytme cahaya menari-nari _burung-burung mengikutinya

gerak dan garis lurus antara langit dan lautan itu seperti jingga

kemaraupu hilang hujan turunlah dengan gerhana: biru dan tembaga

itukah?

Soklancar, 19 Juli 2008

REPORTASE KE-12

Semakin menyekap kebingunan dalam mataku manakala kau hanya hadir dalam benak dan mimpi burung-burung_semalam lindap bau harum menyengat ingatanku pada jeruji

Semacam pengakuan isa atas tuhannya

Dan menyimak sebuah percakapan seperti menyekap dingin dibalik jubah gigilku_sepanjang koridor mengeja letih berbau amis-nsnyir darahmu yang seperti muncrat dari kepalaku

(itu sudah cukup,) bisikmu

Rumah pangestoh, 09 Agustus 20008

Amin Bashiri. Kelahiran Sumenep, 29 Januari 1988. Mahahsiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumenep, aktif membina Komunitas Sastra Arus Sungai (eKSAS), dan tercatat sebagai Koordinator Bidang Seni Dan Budaya KomPaS (Kompolan Pangarang Songennep) sekaligus mengabdikan diri di Lembaga Kajian Seni Dan Budaya PANGESTOH Net-Think Community, mail: combat_gaul@plasa.com CP: 0852 3110 7600. Saat ini tinggal di Jl. Trunojoyo V/15 Kolor-Sumenep

Puisi Nur Hayati

DONGENG MATAHARI

matahari mataku

siluetnya telah tawarkan angur

membuatku mabuk

sesekali sakau

terhempas tak bernilai

Matahari matamu

Silau,

Panas

aku terpesona

pada perangkap tak bertuan

Matahari mata kita

Menyisakan jejak-jejak

Pada panorama malam bertahta pualam

Yang terlahir dari mimpi dan igauan

Matahari mata semesta

Mengantarku pada asma kebesaranMU

Aku kerdil, kecil

Istighfarku kemarau

Sujudku hilang

terdampar disamudra berkarang

Sajak-Sajak G. Kusairi

Selepas Mendung

musim segumpal kelahiran semasa kelam oleh jeritan

selepas mendung seprti percikan air mata yang tak kunjung usai

mengujung menghadapkanoleh mimpi – mimpi

kita lupa esok kan bersujud di haribaan nya

hanya krikkil – krikil nisan zam – zam tak habis di telan masa

maka tercipta seperti aqua yang sering di jejalkan di teras terminal

retak terus menatap bahkan kini akan berakhir sampai hari itu

bila hujan telah membaca para hamba

tanah aroma oleh zat zat menunggu menghapus musafir

perempuan datang dengan seribu hasrat bunga

seperti perna terlintas bahwa semak – semak yang tumbu dalam kamarnya

adalah janji pada suatu masa dengan jasatnya

rindu akan haribaan tak padam dengan hanya sunyi

jika sang relung mebasahi sehabis masa elok ku

rupaku menghadap langit, menghadap mentari, menghadap minggu,

mendung gelentur mengeja jalan – jalan murung rinduku terkurung

biyar tafakkur selepas mendung aku menunggu ujung keariafan

mungkin telah ada ujung samudra kan berubah jadi atap

bahkan huruf itu sudah mulai gelisa ketika rapuh akan batu – batu

karam dalam genggamnya

pada keredupan terpancar hingar bingar dalam jantungku

bunga – bunga telah menghias hari itu akn ada suasana baru

mungkin takna lupa oleh janji bahwa ada hari pagi

embun pagi talah membangun istana adam hawa di perempatan jalan

hingga guguran daun menggambarkan satu – satu yang terus menuging penguasa

jendela kubung – kubung baru megusik tak perna berhenti

dia lama kembali dari mimpi.

Pangesto – Songennep, 06 Juli 2008

Menjemput Waktu

telah sampai pada penghujung

waktu seperti menjeput padang arofa

lalu samzam mengalir kitika dia mengucap salam

pada pagi yang terus menaungi kebesaaran mu

sang khalik ku eja setiap tikungan aromah

bulan yang gugur di perempatan jalan mencerahkan masa depan

cakap ku lautan

pasir – pasir yang tumbuh menegak lam jelalah

huruf – huruf nasar tumbang dengan makna

hilir pengkhulu suara parau bersama lampu – lampu

spanjang itu saungai mengalir di dadamu adalah pintu – pintu

telah persisikan kehidupan dibalik jerit kemarau

jika burung - burung yang gamang selalu meng esahkan

cahaya takan surut oleh debu jalan

sepetinya karang yang tumbu dalam hatiku

menghisaratkan lilipan kata takan terencana

perempuan dengan candu adalah keranda

pada hitungn detik hingga jampun tiba sili berganti

kadang ku tak yaikin bahwa angin yang dapat memberi arah

hingga gugur setiap bait pada pangkuannya

kalimat – kalimat itu suda meulis jalan sesungguhnya

mulut laut mulai sakau menjemput waktu pada batu dan rak buku

embun yang selalu bersentuhan dengan matahari

selepas pergi bunga – bunga riang membekas didadaku

adapun serat mengais hawa saraf bermiskat di ujung pilu

Pangesto – Songennep, 2008

Telah Tiba Sajaknya

kini telah tiba sajak sajak yang mangada

waktu bersejarah seperti telivisi sedang ku sak sikan

kalimat berkomandang pada menit haingga detik pun tiba

aku tafakkur pada ujung alif nun yang sejengkal

seperti takkan usai mata mengiris pipi mengenyam pelupuk mata

akupun tak kan kering untuk selalu mengahisap zat zat kalgu

bunga – bunga samzam virjin dan kasea kasea

pagi pagi lewat secangkir kopi di lupuk hati nan berseri

jika yang ku tahu adalah bunga bunga sedang di perbincangkan

percakapan takan usai pada sang qodim

Pangesto – Songennep, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar