Puisi Amin Bashiri*
32 SITUS PURNAMA
alif
lam
miim
Purnama dan perempuan itu jatuh atas nama cahya
lau
a
lau
lamhala*
kemudian nur yangbersenggama_lukapun bunga
yaa_siin adalah ruang-ruang rahasia tuhan
dan kau kutundukkan dengwn mata air kembang warna setaman
asap dupa dan historia mantra-mantra
Pangarangan, 11 Juli 2008
* bacaan dari tulisan rajah pengasihan (biasanya di tulis pada daun cempaka
RHYTME
kemudian aku seperti kembali pada ruang lain: dimana ada kau dan jiwa yang terbengkalai_sunyi mendekap lengang di dadaku
sebuah rhytme cahaya menari-nari _burung-burung mengikutinya
gerak dan garis lurus antara langit dan lautan itu seperti jingga
kemaraupu hilang hujan turunlah dengan gerhana: biru dan tembaga
itukah?
Soklancar, 19 Juli 2008
REPORTASE KE-12
Semakin menyekap kebingunan dalam mataku manakala kau hanya hadir dalam benak dan mimpi burung-burung_semalam lindap bau harum menyengat ingatanku pada jeruji
Semacam pengakuan isa atas tuhannya
Dan menyimak sebuah percakapan seperti menyekap dingin dibalik jubah gigilku_sepanjang koridor mengeja letih berbau amis-nsnyir darahmu yang seperti muncrat dari kepalaku
(itu sudah cukup,) bisikmu
Rumah pangestoh, 09 Agustus 20008
Puisi Nur Hayati
DONGENG MATAHARI
matahari mataku
siluetnya telah tawarkan angur
membuatku mabuk
sesekali sakau
terhempas tak bernilai
Matahari matamu
Silau,
Panas
aku terpesona
pada perangkap tak bertuan
Matahari mata kita
Menyisakan jejak-jejak
Pada panorama malam bertahta pualam
Yang terlahir dari mimpi dan igauan
Matahari mata semesta
Mengantarku pada asma kebesaranMU
Aku kerdil, kecil
Istighfarku kemarau
Sujudku hilang
terdampar disamudra berkarang
Sajak-Sajak G. Kusairi
Selepas Mendung
musim segumpal kelahiran semasa kelam oleh jeritan
selepas mendung seprti percikan air mata yang tak kunjung usai
mengujung menghadapkanoleh mimpi – mimpi
kita lupa esok kan bersujud di haribaan nya
hanya krikkil – krikil nisan zam – zam tak habis di telan masa
maka tercipta seperti aqua yang sering di jejalkan di teras terminal
retak terus menatap bahkan kini akan berakhir sampai hari itu
bila hujan telah membaca para hamba
tanah aroma oleh zat zat menunggu menghapus musafir
perempuan datang dengan seribu hasrat bunga
seperti perna terlintas bahwa semak – semak yang tumbu dalam kamarnya
adalah janji pada suatu masa dengan jasatnya
rindu akan haribaan tak padam dengan hanya sunyi
jika sang relung mebasahi sehabis masa elok ku
rupaku menghadap langit, menghadap mentari, menghadap minggu,
mendung gelentur mengeja jalan – jalan murung rinduku terkurung
biyar tafakkur selepas mendung aku menunggu ujung keariafan
mungkin telah ada ujung samudra kan berubah jadi atap
bahkan huruf itu sudah mulai gelisa ketika rapuh akan batu – batu
karam dalam genggamnya
pada keredupan terpancar hingar bingar dalam jantungku
bunga – bunga telah menghias hari itu akn ada suasana baru
mungkin takna lupa oleh janji bahwa ada hari pagi
embun pagi talah membangun istana adam hawa di perempatan jalan
hingga guguran daun menggambarkan satu – satu yang terus menuging penguasa
jendela kubung – kubung baru megusik tak perna berhenti
dia lama kembali dari mimpi.
Pangesto – Songennep, 06 Juli 2008
Menjemput Waktu
telah sampai pada penghujung
waktu seperti menjeput padang arofa
lalu samzam mengalir kitika dia mengucap salam
pada pagi yang terus menaungi kebesaaran mu
sang khalik ku eja setiap tikungan aromah
bulan yang gugur di perempatan jalan mencerahkan masa depan
cakap ku lautan
pasir – pasir yang tumbuh menegak lam jelalah
huruf – huruf nasar tumbang dengan makna
hilir pengkhulu suara parau bersama lampu – lampu
spanjang itu saungai mengalir di dadamu adalah pintu – pintu
telah persisikan kehidupan dibalik jerit kemarau
jika burung - burung yang gamang selalu meng esahkan
cahaya takan surut oleh debu jalan
sepetinya karang yang tumbu dalam hatiku
menghisaratkan lilipan kata takan terencana
perempuan dengan candu adalah keranda
pada hitungn detik hingga jampun tiba sili berganti
kadang ku tak yaikin bahwa angin yang dapat memberi arah
hingga gugur setiap bait pada pangkuannya
kalimat – kalimat itu suda meulis jalan sesungguhnya
mulut laut mulai sakau menjemput waktu pada batu dan rak buku
embun yang selalu bersentuhan dengan matahari
selepas pergi bunga – bunga riang membekas didadaku
adapun serat mengais hawa saraf bermiskat di ujung pilu
Pangesto – Songennep, 2008
Telah Tiba Sajaknya
kini telah tiba sajak sajak yang mangada
waktu bersejarah seperti telivisi sedang ku sak sikan
kalimat berkomandang pada menit haingga detik pun tiba
aku tafakkur pada ujung alif nun yang sejengkal
seperti takkan usai mata mengiris pipi mengenyam pelupuk mata
akupun tak kan kering untuk selalu mengahisap zat zat kalgu
bunga – bunga samzam virjin dan kasea kasea
pagi pagi lewat secangkir kopi di lupuk hati nan berseri
jika yang ku tahu adalah bunga bunga sedang di perbincangkan
percakapan takan usai pada sang qodim
Pangesto – Songennep, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar